Halaman

Rabu, 19 September 2012

Rezeki? Sudah Ada Yang Mengatur

Sumber :  http://gifts4women.org/
Judul postingan ini adalah ungkapan yang sering kita dengar di kehidupan sehari-hari. Apalagi dengan nuansa krisis ekonomi, krisis global, krisis energi dan krisis-krisis lainnya hingga krisis kepercayaan, masalah rezeki menjadi barang yang sensitif untuk diperbincangkan. Namun, di sisi lain, rezeki menjadi topik yang laris manis dibahas oleh motivator-motivator ternama di negeri ini, dari how hingga why. Mungkin ini sudah menjadi rezeki mereka juga kali ya? Baiklah, kembali ke topik, penulis tidak akan membahas rezeki mereka, toh sudah ada Yang mengatur. Nah lagi-lagi kalimat ini muncul kan? Baiklah, tak apa, memang ini yang sedang penulis ulas kali ini dengan sedikit bumbu pengetahuan dan pengalaman yang secuil, semoga melengkapi postingan ini menjadi postingan yang bermanfaat. Aamiin.

Turun dari Sang pencipta, Allah SWT, di-deliver oleh Malaikat Mikail menuju ke client (manusia), itulah rezeki yang penulis maksud di sini agar ke depannya, dalam membaca postingan ini, tidak salah persepsi. Dari pandangan demikian, jelas sudah bahwa rezeki itu "turun" dari Sang Pencipta, bukan kebetulan semata atau murni dari kerja keras manusia. Pernyataan ini tidak serta merta membenarkan jabariyah yang kelewatan, tetapi lebih mencenderungkan pemikirian kita agar lebih tauhid orientation. Percaya bahwa, ada Dzat Maha Kaya yang lebih berkehendak membagikan kekayaan-Nya dan mendistribusikannya sesuai dengan sifat Maha Cerdas-Nya.
Jadi, kesimpulan kecil yang bisa dibuat oleh penulis adalah, memang rezeki itu sudah ada yang mengatur. Namun, banyak kalangan yang mengartikan pernyataan ini sebagai back up opini mereka yang cenderung "memalaskan" manusia. Tak ubahnya dengan orientasi jabariyah yang menyebabkan "pengikutnya" menjadi malas dalam beraktivitas, pesimis sekaligus optimis datangnya rezeki, karena semuanya sudah ada yang mengatur, tinggal ditunggu dan didoakan saja, dan tidak usah diusahakan. Jelas, ini adalah kesalahan besar dalam memaknai rezeki. Karena Allah pun memerintahkan kita semuanya agar tidak malas dan bertebaran di muka bumi ini untuk mengais "jatah" kita.

Lantas apa hubungannya usaha dan kerja keras kita dengan rezeki sedangkan rezeki sudah ada yang mengatur dan apa imbas doa dari semua ini? Ya sekilas menjadi saling kontradiksi antara pernyataan-pernyataan tersebut. Namun, di sini, penulis akan berangkat dari kesepahaman yang sama dengan pembaca yang budiman, yakni bahwa Sang Pemberi Rezeki adalah Maha Pengasih dan Penyayang, jadi kita samakan pendapat di sini bahwa kita harus memiliki prasangka positif atau husnudzon kepada-Nya.

Sumber
Berangkat dari hal tersebut, tentunya kita akan berbicara sumber terlebih dahulu. Sumber atau dari mana rezeki itu berasal, meletakkan Dzat Yang Maha Pemberi dalam posisi ini. Dengan segala pengaturan dan kebijaksanaan-Nya, kita harus berpikir positif bahwa Allah SWT, sudah menjatah rezeki kita secara proporsional dan sangat adil. Tidak percaya? Contoh kecil saja, rezeki cicak adalah nyamuk, tetapi cicak tidak diberi kemampuan untuk terbang. Bayangkan, apa jadinya jika cicak dapat berterbangan di kamar Anda. Hehehe. Rezeki itu diatur karena ada variabel-variabel lain yang menghadirkan keseimbangan-keseimbangan yang tidak kita pikirkan sebelumnya. Contoh lain yang mungkin cukup sporadis adalah, bagaimana jadinya jika semua orang di dunia ini punya banyak uang, pastinya mereka akan malas bekerja dan tidak ada aktivitas yang saling menguntungkan. Dunia akan berhenti berputar dan tidak ada warna, itulah hakikat dicipatakan keseimbangan. Konsep balance yang saya berikan di sini memberikan sedikit gambaran kepada kita agar kita tidak boleh terlalu sombong dengan apa yang kita dapatkan lebih dari orang lain dapatkan dan tidak boleh gampang menyerah apabila jatah kita lebih sedikit daripada yang lain.

Oleh karena itu sering orang jawa menyatakan dalam pepatahnya, urip pindha cakra manggilingan (hidup ibarat roda yang berputar), kadang di atas dan kadang pula kita harus di bawah. Banyak motivator-motivator sekarang yang mengabaikan konsep tersebut dan berusaha meyakinkan pesertanya untuk terus mencapai prestasi setinggi-tingginya, ibarat menaiki tangga. Jika semuanya naik setinggi-tingginya, apa jadinya dengan si tangga, pasti keberatan, ambruk dan jatuh semua. Saya lebih sreg dengan pernyataan sebelumnya, karena Allah tidak mungkin menciptakan dan mengatur sesuatu tanpa maksud tertentu. Oleh karena itu, persepsikan pandangan kita bahwa hakikat atas-bawah dalam elevasi jatah rezeki sebenarnya adalah batu sandungan kita untuk "peduli". Kita akan cenderung sombong ketika rezeki kita melimpah, dan cenderung putus asa kertika rezeki kita seret. Bukan bermaksud berburuk sangka, tetapi kecenderungan itu adalah sifat dasar manusia, dan kepedulian menjadi barang yang asing di telinga jika kita tidak mampu menyikapinya dengan hati yang cerdas.

Kongruen
Ketika penulis pernah mengalami seretnya rezeki, dan bahkan waktu itu dipastikan tidak bisa makan untuk entah berapa hari kedepan, penulis sempat berpikir, inikah cara Tuhan mengatur rezeki-Nya? Pertanyaan tersebut terus mblandrang dan tidak karuan dan berujung pada pengaduan, permohonan, permintaan dan penyerahan semua daya upaya yang telah dilakukan kepada-Nya. Tentu, ini adalah hal yang pernah kita alami, termasuk penulis sendiri, sehingga tak ayal jika masjid dan mushala mungkin dipenuhi oleh orang-orang yang seret rezeki, susah berjodoh, ingin jabatan, dan lain sebagainya. Permintaan manusia kepada Tuhan-Nya ini adalah tidak salah, karena Allah lah yang menciptakan manusia, dan tidak mungkin dia menelantarkan manusia dengan tidak tanggung jawab. Inilah persepsi utama agar kita selalu berbaik sangka dengan Allah SWT. bahkan tak jarang di antara kita membanding-bandingkan ibadah kita yang dikongruenkan dengan besaran rezeki. Kita sering merasa orang yang malas-malasan beribadah malah rezekinya lancar, sedangkan kita yang rajin malah diseretkan. Apakah malaikat salah kirim rezeki?. Hehehe. Prasangka seperti ini harusnya tidak boleh ada dalam benak kita.

Allah membagi-bagi rezeki juga disejajarkan dengan usaha mereka. Ketika kita dijatah rezeki 100%, dan usaha dan tawakal kita hanya mencapai 20% dari segala kesempatan yang diberikan, maka bukan tidak mungkin kita hanya mendapatkan 20% nya atau malah lebih kecil daripada itu. 100% yang dijatah kepada seseorang pasti tidak "keterlaluan", dalam artian Allah SWT menjatah rezeki itu sangat proporsional dan sangat adil.  Penulis memberi contoh, dari pengalamannya, saat itu penulis sangat membutuhkan biaya untuk membayar tunggakan bulanan uang sekolah waktu SMA. Kala itu, penulis ditunjuk sebagai wakil sekolah untuk mengikuti suatu kompetisi di suatu perguruan tinggi. Hadiah yang digelontorkan pun cukup banyak, dan bila dipikir-pikir akan sangat membantu mengatasi krisis waktu itu. Dengan penuh semangat, total and all out, penulis berkeyakinan bisa mendapatkan hadiah utama tersebut. Singkat cerita, Alhamdulillah, penulis meraih juara kedua, yang jumlah hadiahnya bisa menutup semua kekurangan tunggakan yang belum terbayar.

Nah, ketika kita yakin apa yang kita usahakan adalah total dan berkeyakinan bahwa Allah sudah menjamin jatah kita dengan kesempatan tersebut, bukan suatu imajinasi jika kita bisa meraihnya. Ibarat 100% adalah hadiah tadi, penulis yakin usaha 100% nya sudah membuahkan hasil dan berhak mendapatkan ganjarannya. Jadi, ketika rezeki kita segitu-gitu saja, mungkin saja usaha dan doa kita lah yang juga segitu-gitu saja.

Maksud
Ketika kita sudah berupaya maksimal dan sangat yakin adanya pertolongan rezeki akan datang, tetapi kita ternyata belum mendapatkan apa yang diinginkan, lantas apa yang harus kita lakukan? Kembali ke dasar semua ini, berbaik sangka. Ya, berbaik sangka. Karena Allah tidaklah mengatur semua ini dengan maksud. Nah, harapan kita adalah semoga maksud Allah itu adalah maksud yang terbaik untuk kita. Saat itu penulis sedang gencar-gencarnya mengerjakan proyek sana-sini, dan Alhamdulillah hasilnya lumayan untuk mengirim jatah perbulan untuk yang di kampung halaman. Suatu saat, penulis merasa sangat terbingungkan ketika banyak rekan-rekannya yang boleh dikata "lebih banyak rezekinya" dengan berpandangan bahwa "dia butuh sedikit usaha" dibandingkan dengan usaha saya. Kalau saya pikir, kearoganan menjadi sumber iri hati banyak orang, termasuk saya saat itu. Kalau seperti itu, sudah pasti jangan ditiru pembaca budiman. Alhamdulillah penulis sudah mengatasi pemikiran seperti itu dan sekarang akan berbicara makna dari cerita tersebut.

Kata "banyak" dan "sedikit" dalam frase di atas, sungguh hanyalah ukuran material dan itupun banyak yang menganggapnya sebagai perspektif semata dan tidak absolut. Jangan terkecoh dengan kata-kata ini, dan segera lemparkan pandangan anda kepada kata "maksud" yang tercetak tebal di atas paragraf sebelumnya. Ya, "maksud". Ketika kita memang "ditakdirkan" seperti itu, tak lain dan tak bukan karena kita sedang diuji, apakah kita masih mencintai-Nya apa tidak. "Nya" dalam kalimat sebelumnya, saya artikan sebagai Allah SWT, Tuhan Anda, Sang pemberi Rezeki tadi. Dari situ sudah terlihat bahwa Anda, diberikan rezeki tak lain dan tak bukan hanyalah untuk mencintai-Nya, bukan mencintai rezeki-Nya. Saya analogikan Anda memiliki kekasih, dan saat hari ulang tahunnya, Anda memberikannya hadiah, kado atau apalah. Tentunya maksud Anda memberi hadiah itu, adalah agar sang kekasih lebih mencintai Anda, bukan lebih mencintai apa yang Anda beri, bukan pula berharap dia meminta lagi yang lebih banyak atau lebih bagus. Kalau toh Anda memberinya yang lebih bagus atau lebih banyak, itu karena Anda merasa dia lebih mencintai Anda dari sebelumnya. Betul-betul-betul?

Itulah arti kata "maksud" yang saya jabarkan di sini. Allah tidaklah mempersulit hamba-Nya, Dia hanya ingin makhluk-Nya mencintai Dia. Dia akan "cemburu" jika Anda malah sibuk dan cinta dengan apa yang Dia beri, bukan pada Sang Pemberi. Ketika penulis merasakan keiriannya dengan orang lain, itu pertanda penulis belum mampu menafsirkan apa maksud Allah di sini. Lantas, muncul dalam pemikiran, bahwa itu semua hanyalah "pemandangan" yang ditunjukkan kepada penulis, agar nantinya ketika mendapatkan rezeki, jangan berlaku seperti itu. Dan setelah itu penulis menjadi lebih mawas diri, bahwa, ketika kita diberi rezeki, saat itulah arogansi dan kecongkakan harus diturunkan serendah-rendahnya dan rasa syukur sebagai bukti cinta kepada-Nya dinaikkan setinggi-tingginya. Jangan salah, jika ada yang mengumbar rasa syukur di hadapan orang lain dan itu mengakibatkan keiri hatian, maka syukur itu tak lagi ada artinya. Mengapa? Karena bisa jadi Allah menganggap rezeki yang diturunkan kepadanya menjadi sarana perbuatan tercela. Oleh karena itu, berhati-hati terhadap kelimpahan rezeki, tidak mengumbarnya, tidak pula menjadikan pesakitan orang lain, dan membelanjakan di jalan Allah, itu mungkin yang lebih baik di sisi-Nya.

Sedekah
Sedekah adalah suatu amalan yang sering dikait-kaitkan dengan rezeki. Penulis pun sudah berbagi mengenai beberapa kisahnya dalam beberapa entri, seperti di postingan tentang pandangan esensi sedekah dan instant reply. Banyak juga motivator-motivator dan ustadz-ustadz yang menganjurkan untuk bersedekah agar dilancarkan rezekinya. Ya, memang sesekah merupakan amalan yang baik agar kita dapat terhindar dari bala, kelancaran rezeki, kemudahan untuk mendapat jodoh dan sebagainya. Itu semua mungkin sudah kita tahu. Di sini, saya akan mengambil sisi lain sedekah berkaitan dengan entri kali ini, yakni rezeki.

Sedekahlah agar kita kaya. Motivasi yang bisa menjadikan kita rajin bersedekah. Dengan modal percaya bahwa Allah akan membalas itu semua, kitapun akan menjadi semakin rajin melakukannya. Apakah ada yang salah dengan mindset seperti ini? Sekilas tidak ada yang salah dengan pemikiran demikian. Namun, ada yang perlu dicermati dengan hal ini. Seolah-olah kita melakukan suatu amal, hanya karena kita berharap ada balasan atau ganjaran yang profitable untuk kita. Ya, profitable, sebuah istilah yang mungkin akan bergesekan dengan istilah materialistis. Jadi apakah sedekah mengajarkan kita untuk sedemikian? TIDAK. Silakan baca postingan saya sebelumnya tentang esensi sedekah dan instant reply, di sana penulis tidak sama sekali mengajak pembaca agar bersedekah supaya cepat kaya atau sebagainya. Penulis hanya berbagi, bagaimana sebuah hal yang lebih berharga daripada itu semua. Apakah itu? Ya, kepedulian. Di entri tersebut, saya menggaris bawahi makna kepedulian sebagai wujud pengabdian dan cinta kita kepada Sang Pemberi Rezeki. Sudahlah, tidak perlu berhitung-hitung, berapa sedekah yang sudah kita keluarkan, dan berapa pula yang "harus dibalas" oleh Allah SWT. Pemikiran seperti ini akan menyebabkan kita beramal bukan atas dasar kepedulian yang dilandasi cinta kepada-Nya, tetapi lebih ke "hadiah" yang diberikan atas suatu amal.

Jelas, Allah sudah memperhitungkan rezeki kita masing-masing. Tak usah khawatir, tak usah pula meragukan-Nya. Yang mungkin terbaik bagi kita adalah, bagaimana kita bersedekah, karena kita peduli, karena kita adalah kaki tangan Allah SWT dalam mendistribusikan kesejahteraan di sekitar kita, memberikan jalan-jalan rezeki bagi mereka yang membutuhkan. Karena sesungguhnya tak ada satupun amal yang datang, kecuali berasal dari Dia. Tak perlu menyebarkannya, tak perlu menginformasikannya kepada orang lain. Cukup antara kita dan Dia saja. Cukuplah cinta kita antara kita dan Dia.

Simpulan
Dari panjang lebar tulisan di atas, tentunya satu hal kecil yang perlu diperhatikan dalam masalah rezeki adalah, bagaimana rezeki itu bisa lebih mendekatkan kita kepada Sang Pemilik Rezeki. Itulah hakikat diturunkannya rezeki. Kita semua yakin, bahwa Rasulullah SWT adalah seorang yang kaya, tak perlu diragukan lagi. Dengan predikat pengusaha yang jujur dan amanah, sudah barang tentu beliau adalah seorang yang kaya raya. Namun, yang perlu kita cermati adalah bagaimana beliau membelanjakan harta beliau di jalan Allah, jihad fii sabilillah, sedekah dan membantu anak yatim dan orang miskin. Jelas, inilah yang disebut dengan kaya hati, karena rezeki yang diberikan ibarat sarana untuk semakin mendekat kepada-Nya, bukan untuk menjauhi-Nya. Rezeki berupa kelimpahan harta, kedudukan, pangkat, anak-anak, kesehatan, kecantikan sebenarnya adalah ujian bagi mereka yang mengetahui. Semoga rezeki yang terlimpah kepada kita senantiasa dibarengi dengan syukur yang tak terkira dan semoga kesulitan rezeki yang menimpa kita senantiasa disertai dengan sabar dan istiqomah. Aamiin.

Waallahualam bissawwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kirim Komentar Anda
(Send Your Comment)