Halaman

Rabu, 17 Juni 2009

Employee or Entrepreneur? ("Em o En")

Sumber : http://trabzongg.org
Pernah suatu ketika saya mengobrol dengan seorang mahasiswa jurusan teknik seperti saya saat makan malam di suatu warung nasi. Dia bercerita bahwa dalam waktu dekat ia akan melaksanakan gladi di suatu perusahaan. Saya senang mendengarnya dan kemudian saya bertanya kepadanya. "Ehm, setelah mengikuti gladi tersebut, apa yang kamu harapkan?" Dia menjawab dengan penuh harapan "Ya semoga saja saya bisa diterima di perusahaaan X dengan mudah kemudian bekerja di situ sebagai pegawai dengan penghasilan tinggi". Ya, mungkin terdengar sebagai ucapan realistis bagi seorang mahasiswa dan mungkin itu kata-kata default dari sebagian besar mahasiswa.

Ehm, dari cerita di atas tadi mungkin dapat kita tangkap sebuah pelajaran bahwa mahasiswa Indonesia saat ini hanya ingin mengejar suatu mimpi menjadi seorang pegawai. Salahkah? TIDAK! Menurut saya. Asumsikan jika seorang mahasiswa yang baru lulus kemudian dia langsung mendapat pekerjaan setelah mereka melamar. Alangkah senangnya mendapat gaji yang pertama. Sekilas terlihat sangat menyenangkan jika hal seperti di atas terjadi pada setiap mahasiswa termasuk saya. Mendapat gaji pertama, fasilitas, asuransi dan lain sebagainya. Dengan modal pikiran dan kerja keras tak ayal kita mendapatkan itu semua dengan mudah.

Namun, apakah sebagai seorang yang sudah menghabiskan waktu lebih dari 3 tahun untuk belajar di bangku perkuliahan dan mendapatkan ilmu yang sudah lebih dari ilmu yang dipakai di dunia kerja hanya bisa menolong dirinya dari jeratan masa depan suram? Bagaimana dengan orang lain? Orang sekitar kita? Masa bodohkah? Mereka tidak membantu saya, haruskah saya membantu mereka? Pertanyaan yang sulit?
Era globalisasi ini menuntut kita semua sebagai kaum cendekia muda untuk menerapkan "One Win All Win". Mungkin tidak sepenuhnya benar jika kita dipaksa untuk bersaing dan saling sikut demi memenangkan kompetisi. "One Win All Win" berarti kita berusaha untuk membagi apa yang kita raih entah itu ilmu, kesempatan atau harta kepada orang lain yang mungkin lebih membutuhkan. Bagaimana caranya?

Ubah paradigma! Pandangan ke depan sebagian besar mahasiswa Indonesia adalah menjadi "Em" atau employee. Sudah cukup puas jika sudah mendapatkan gaji dari apa yang mereka kerjakan sebagai pegawai. Bahkan naik jabatan adalah cita-cita wajar jika prestasi kerja memiliki nilai 10. Paradigma ini adalah paradigma yang tidak keliru tetapi memiliki dampak yang cukup besar. Bayangkan tiap tahun Indonesia harus menghasilkan lulusan perguruan tinggi yang begitu banyaknya dan tidak mendapatkan profesi hanya karena mereka kalah bersaing dengan yang lain. Angka pengangguran meningkat, bukan tak mungkin.

Pandangan yang perlu ditanamkan kepada mahasiswa Indonesia setelah lulus adalah menjadi "En" atau entrepreneur. Tunggu dulu, entrepreneur tidak harus memiliki modal besar kemudian mendirikan perusahaan dan bisa meyerap tenaga kerja. Adalah salah jika anda memandang sempit seperti itu. Jiwa entrepreneur tidak harus terhambat oleh masalah modal. Ambil contoh. Seorang yang sudah memiliki pekerjaan tetap di suatu perusahaan kemungkinan akan memiliki pendapatan lebih dan akan sisa setelah dikurangi kebutuhannya. Sisa inilah yang harus dimanfaatkan optimal sebagai sebuah peluang bagi seorang bermental pengusaha. Seorang pengusaha tidak memandang jumlah kecil pada modal untuk membangun usahanya. Tilik kisah seorang Bill Gates yang mampu mendirikan perusahaan raksasa hanya dengan modal kecil pinjaman temannya, karena pamannya sendiri tidak meminjaminya karena alasan ketidakjelasan masa depan perusahaan. Contoh lain yang mungkin bisa dilakukan adalah seperti yang membuat suatu grup untuk membangu sebuah proyek. Kumpulan mahasiswa yang intelek adalah modal yang lebih besar dari uang. Bahkan perusahaan-perusahaan besar di Amerika Serikat sering memakai jasa mahasiswa-mahasiswa dalam pembangunan proyek yang berasal dari perguruan tinggi selain mereka memiliki tim dari perusahaan. Bagaimana dengan Indonesia? Peluang bagus jika mereka memiliki ide lebih kreatif dibandingkan orang dalam perusahaan. Ini memungkinkan juga suatu proyek dibangun dengan melibatkan masyarakat sekitar dan hal ini berdampak kepada penyerapan tenaga kerja.

Tidak usah terlalu jauh, entrepreneurship tidak harus sedemikian rumitnya. Ilmu yang kita dapat selama perkuliahan dapat kita bagi kepada orang lain, orang yang membutuhkan ilmu tersebut dalam terapan kerja. Dengan mengadakan kursus dan kepelatihan kepada mereka sudah merupakan cakupan entrepreneurship juga. Bayangkan jika seorang lulusan perguruan tinggi di samping aktivitasnya sebagai pegawai dia juga mengadakan usaha yang menyerap tenaga kerja 10 orang. Jika sebagian besar lulusan mahasiswa seperti itu, mungkin angka pengangguran turun tajam bukan suatu mimpi di siang bolong.

Itu semua hanya sebagian kecil contoh untuk membangun Entrepreneurship. Masih banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengubah para lulusan perguruan tinggi yang berstatus "Job seeker" menjadi "Job Creator". Dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat ini memang menuntut setiap individu untuk saling sikut untuk berebut kesuksesan. Tapi, sebagai insan yang masih memiliki nurani untuk saling menolong, "One Win All Win" adalah pernyataan yang tepat bagi mereka yang masih bisa tergugah hatinya untuk tidak melupakan sekitar dan meraih kesuksesan bersama.
Semoga bermanfaat.
(Sesungguhnya perbedaan pendapat itu rahmat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kirim Komentar Anda
(Send Your Comment)