Halaman

Senin, 13 Agustus 2012

Menjalani Kehidupan Sufi di Era Modern I

Sumber : http://www.asritadda.com
Judul di atas terlalu muluk-muluk untuk seorang penulis yang notabene adalah bukan manusia pendakwah ulung apalagi dipanggil ustadz. Ya, ini hanya tulisan berbagi bagaimana penulis sedang dan ingin berjuang untuk lebih "sufi" dan memperbanyak ilmu tasawufnya, yang boleh dikata ilmu ini hanya dapat diterapkan oleh orang-orang dengan spiritualitas islami yang tinggi. Sedangkan penulis di sini pun belum mencapai derajat seperti itu, lha kok berani-beraninya posting tulisan seperti ini. Namun, ada keuntungan dengan cara berpikir dan cara belajar dengan orang-orang yang mungkin bisa dibilang "selevel", yakni bisa berbagi pengalaman, berbagi pemikiran dan pandangan bagaimana ilmu tasawuf ini teraplikasikan di kehidupan yang serba kompleks dan canggih seperti ini.

Baiklah, berbagi pengalaman saja, penulis tak ubahnya seperti orang-orang biasa dan awam sekali dengan ilmu yang dipakai oleh ulama-ulama yang disebut-sebut sebagai sufi ini. Penulis mulai mendekat dan memulai perjuangan yang bisa dikata cukup terlambat, tetapi penulis berkeyakinan bahwa sesuatu yang akan diusahakan, Insya Allah akan ada manfaat dan hasilnya. Di sini akan dibagikan beberapa pemikiran dan pandangan penulis setelah dia mencoba memaknai sedikit demi sedikit mutiara-mutiara Al Hikam (Al Ata'iyyah; untuk membedakan Hikam-Hikam lainnya), salah satu karya fenomenal tasawuf karangan Ibnu Athaillah As Sakandari (659-709 H). Beliau adalah keturunan Arab dan mengusahakan karyanya di kairo Mesir yang sekarang sedang berusaha dipahami oleh penulis, keturunan Indonesia tulen dan sedang tinggal di Bandung,(nggak penting) hehehe. Buku beraliran sama juga sedang dicoba untuk dipelajari secara hati-hati oleh penulis, yakni "Menuju Jalan-Jalan Langit" karya Salahuddin At Tijani, meski hingga detik ini butuh reply berkali-kali untuk membacanya, agar makna yang saling tersambung tidaklah terputus dan tidak terjadi salah tafsir.
Mengenal Tasawuf Sebagai Bekal Hidup yang Sempurna
Ada yang mengatakan kita cukup belajar sampai fiqih saja untuk sekedar cukup mengarungi kehidupan di dunia ini dan mengamalkan amalan-amalan sesuai syariat. Namun, seyogyanya bagi kaum atau orang-orang berakal, mereka tidaklah puas dengan hanya menerima ilmu yang "disodorkan" dan harus "dimakan mentah-mentah" tanpa tahu sebab musababnya. Kaum berakal, kaum memikirkan sering disebut dalam Al Quran, dan semestinya kita wajib berjuang hingga menuju ke sana. 

Nah, kembali ke topik, secara bebas penulis memberikan pengertian bahwa ilmu fiqih erat hubungannya dengan bagaimana dan apa yang harus dilakukan manusia (makhluk) terkait dengan pengabdiannya kepada sang Khaliq (Pencipta). Sebagai contoh apa saja rukun iman, rukun islam, bagaimana cara mengerjakan shalat, siapa saja yang perlu diberikan zakat dan sebagainya. Nah, terkait dengan proses ragawi dan ruhani yang diselaraskan dengan perintah-perintah itu wajib hukumnya dipelajari oleh umat Islam dan itulah yang disebut fiqih. Penjelasan dan detil, mengapa kita diperintahkan hal tersebut dapat dipahami secara implisit dari apa yang kita perbuat. Dan bahkan, secara bebas banyak orang mengkait-kaitkan efek dan dampak dari pengerjaan ilmu fiqih ini, sebagai contoh ketika dzikir hati kita menjadi tenang, setelah kita besedekah, rezeki kita melimpah, dan setelah shalat tahajud kita merasa telah diselesaikannya suatu masalah. Pandangan ini tidaklah salah, dan mungkin boleh diamini sebagai wujud syukur dan kedekatan kita dengan Allah SWT. jadi kesimpulannya, fiqih mengatur hubungan manusia dengan Allah lewat media-media yang dapat mentranslasikan kewajiban dan hak-haknya baik dari sisi manusia kepada Allah.

Jikalau fiqih lebih ke apa dan bagaimana kita mewarnai kehidupan dengan hukum-hukum Allah, nah cara pandang, pemikiran dan pertanyaan-pertanyaan yang melemparkan kata tanya mengapa, secara bebas penulis menafsirkannya hal tersebut sebagai ilmu tasawuf. Kalau kita merujuk pada pengertian-pengertian yang berasal dari referensi terpercaya, mungkin pendapat saya akan sangat berbeda jauh, karena definisi tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun dhahir dan batin utnuk memperoleh kebahagiaan abadi. Definisi ini, penulis jiplak dari wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Sufisme). Dari pangkal katanya saja sudah berbeda, yakni bagaimana dan mengapa. Namun, ini sebuah singgungan yang benar-benar dekat jika kita baca sekali lagi artinya. Disana ada tujuan yang lebih, yakni menyucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun dhahir dan batin untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Nah, tujuan ini bisa menjawab mengapa kita perlu melakukan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan-Nya. Lebih jauh lagi tujuan ini tidak lagi dimiliki oleh sufi (sebutan untuk kalangan yang memperdalam tasawuf), dan mereka hanyalah berusaha mendekati Dzat yang menguasai semua tujuan itu semua. 

Wah, terlalu tinggi ya ilmu mereka. Apakah kita sanggup? Apakah kita tidak wajib menguasainya? Apakah kita ingin menjadi yang biasa-biasa saja? Itulah pertanyaan awal yang mungkin agak me-minder-kan pemikiran dan mengkerdilkan semua usaha kita. Ketahuilah teman, saat kita berusaha dan menuju ke arah kebaikan, sebenarnya kita sedang mendekat kepada Sang Pencipta. Dekat dan jauhnya kita dengan-Nya bukan diukur secara distance, tapi lebih ke quality, artinya kita lebih dekat dengan sifat-sifat Rabbani dari-Nya. 

Lantas, apakah kita wajib mempelajarinya? Kalau menurut pribadi penulis, tak ada salahnya belajar untuk menuju sebuah hakikat sejati. Mungkin jika rekan-rekan mencari artikel tentang ini, ada yang melontarkan bahwa paham sufisme dan ilmu yang dibawanya ini adalah bid'ah dan bahkan ada pula yang mengatakan, ilmu ini berasal dari agama lain. Seperti kita ketahui, agama lain pun mengajarkan untuk bagaimana membersihkan ruhani, memisahkan diri dari dunia, memakai wool, bersemedi dan sebagai-sebagainya. Faham ini dianggap mencontek dan tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa tasawuf secara implisit sudah terajarkan oleh Raasulullah SAW, jadi sebenarnya kata tasawuf itu tidaklah muncul di zaman Rasulullah SAW. Silakan rekan-rekan pilih mana yang lebih cocok dengan kata hati rekan-rekan, karena saya sendiri sudah cukup nyaman memiliki pemikiran, pandangan yang lebih dari sekedar menjalani seremonial spiritualitas yang tanpa berpikir sama sekali. Bahkan dalam suatu kesempatan Imam Ghazali, pernah berstatemen barang siapa mati tidak membawa ilmunya (tasawuf), mereka termasuk orang-orang sesat. Sebegitunya Imam Ghazali berkeyakinan bahwa tasawuf tidak hanya mementingkan esensi dampak baginya seperti ketenangan batin, pencerahan jiwa tetapi lebih bagaimana upaya makhluk berpikir dan melihat pencipta di setiap ruang dan waktu kehidupannya. Nah inilah yang menjadi main point dari judul yang akan saya eksplorasi secara bebas tetapi tidak menyalahi aturan Islam tentunya.

Mengenal Sufi dan Pemikirannya
Saya sarankan, rekan-rekan untuk membaca dulu secara khusus untuk edisi tasawuf ini, karena saya tidak bisa membeberkan secara banyak di sini. Penjabaran dalam bahasa Indonesia sering mengurangi makna dari setiap pernyataan dan pengertian yang tersadur secara murni dari pengarangnya yang berasal dari Timur Tengah, sehingga saya tidak bisa berani membagi secara lugas dan eksplisit apa, bagaimana dan definisi sesungguhnya. 

Nah, setelah bermodalkan "secuil" pengetahuan, mungkin saya ingin berbagi bagaimana cara berkehidupan ala sufi. Di benak rekan, mungkin zaman dahulu, para sufi lebih sering mengasingkan diri, banyak berdzikir kepada Allah SWT, zuhud atau meninggalkan keduniawian dan banyak ritual khusus yang hanya berfokus dan berorientasi pada Allah SWT semata. Anggapan ini sebenarnya tidaklah salah, karena dalam realitanya, juga ditemukan sufi-sufi menjalani kehidupannya seperti itu. Lantas, apakah kita akan meniru-niru gaya hidup seperti itu? Bukankah adalah dzalim ketika kita meninggalkan dunia? Dan sebagainya-sebagainya, itu bisa jadi menjadi pertentangan yang saya juga pernah mengalaminya.

Secara kasar, pemikiran para sufi dapat kita definisikan sebagai ego semata, mengharap sesuatu dengan susah payah, perlu usaha tingkat tinggi dan mengabaikan sosial. Pemikiran mereka akhirat oriented, menganggap dunia ini sarana fana belaka yang banyak hal yang akan membuat kebahagiaan di sana tidak dapat diraih dengan mudah. Meninggalkan segala sesuatu yang tidak pada jalur-Nya dan berusaha semaksimal mungkin agar menjadi kekasih-Nya dengan melakukan penyendirian, pengurungan dan pengasingan yang itu lebih baik daripada bersama-sama dengan makhluk lain yang dianggap penuh dosa.

Paragraf di atas adalah pandangan secara kasar kita terhadap para sufi, terutama dari sisi pemikiran mereka. Sah-sah saja kita memiliki pandangan seperti itu, tetapi ada yang tersirat dari pemikiran itu yang bisa menjadikan sandaran selanjutnya kita menjalani kehidupan ini.

Dunia Sudah Berubah
Ya, dunia ini sudah berubah, apapun itu jika membandingkan masa lampau, zaman ratusan Hijriah dengan sekarang, zaman yang sudah menapaki seribu empat ratusan Hijriah. Apakah kita mampu mentranslasikan cara berpikir seperti itu di era yang serba modern dan kompleks ini? Jawaban dari penulis adalah, "MAMPU". Bagaimanapun usahanya, penulis yakin semua manusia dibekali oleh dua hal yang sama yakni akal dan hati, kecuali manusia khusus seperti orang gila. Nah, modal itulah yang sering kita pakai di kehidupan kita sehari-hari dan kali ini akan sedikit disirami dengan wawasan dan pencerahan baru. Insya Allah.

Dalam Tiap Nafas
Pandangan akhirat oriented, sebenarnya tidaklah benar menurut saya jika ditujukan kepada kalangan yang memahami benar ilmu tasawuf. Karena para penggenggam ilmu ini tidak lagi mengorientasikan dirinya kepada apa-apa termasuk kehidupan akhirat sekalipun. Lantas, atas dasar apa mereka berbuat? Tak lain dan tak bukan karena Allah SWT. Pertanyaan selanjutnya; Allah khan tidak membutuhkan makhluk seperti kita, karena dia Maha Kaya? Benar, justru itu, kitalah yang membutuhkan Dia. Kitalah yang tak bisa apa-apa karena Dia dan kitalah yang akan menjadi butiran debu atau tak berwujud sama sekali ketika rahmat-Nya tercabut dari kita. Ketika kita tidak berusaha mendekat, kitalah yang akan merasakan betapa lemahnya diri ini, dan karena itulah dalam suatu pernyataan para sufi dalam setiap tarikan nafasnya mengandung makna "Hu" dan di setiap hembusan nafasnya bermakna "Wa", yang apabila digabungkan menjadi kata Huwa (Dia). Huwa atau Dia melambangkan eksistensi Allah SWT yang senantiasa berada di dekat kita, sangat dekat sekali bahkan disebutkan lebih dekat dari urat leher.

Dengan adanya "nafas Huwa" seperti itu, kita akan berusaha mewarnai kehidupan ini dengan warna agung yang terbawa dari Dzat Maha Agung tersebut. Allah SWT senantiasa memancarkan sifat-sifat agung-Nya seperti Rahmaan dan Rahiim. Eksistensi Allah di sekitar kita dan mungkin masuk ke relung hati kita menyadarkan kita betapa hidup ini, hendaknya diwarnai oleh atribut agung Allah Maha Besar. Di setiap langkah kita, hendaknya memberikan jaminan dan pancaran yang tiada tara nilainya kepada makhluk-makhluk di sekitar kita. Itulah hakikat yang pernah diajarkan Syech Siti jenar dalam konsep manunggaling kawula gusti (menyatu dengan Allah), hanya saja ditafsir kebablasan oleh beliau dan murid-muridnya sehingga beliau merasa dialah Allah. Yang berlebihan seperti ini, tidak usahlah ditiru cukup, bagaimana kita memahami kehadiran Allah di setiap nafas kita, dan saat itu pulalah ada suatu kesempatan kita mengekspresikan atribut-atribut-Nya yang memberikan rahmat ke seluruh alam (Rahmatan lil 'alamin). Insya Allah.

Saat belajar di sekolah, kuliah di kampus, bekerja di kantor, bekerja di pasar, niatkanlah semua itu karena Allah SWT. tak ada lagi orientasi lain yang bisa jadi menuhankan objek lain, dan sebutan kafir mendekat ke diri kita, naudzubillah. Secara eksplisit berhala memang berbentuk patung jika disebutkan dalam Al Quran, tetapi dalam era modern seperti ini, kita sangat susah sekali menghindari berhala-berhala seperti itu. Contoh simpelnya, adalah kita lebih memilih tanyangan televisi dibandingkan dengan shalat tepat waktu. Sederhana memang dan tidaklah membuat kita kafir beneran, tetapi sifat kitalah yang hampir mendekati kafirun dan semoga kita masih kembali dalam syahadat jika iman kita melemah. 

Ada satu hal yang bisa menjadikan hakikat orientasi kita menuju ke rahmat-Nya, tak lain dan tak bukan hanyalah "ikhlas". Ikhlas dalam artian yang sangat susah dipahami, karena dalam suatu riwayat disebutkan Rasulullah SAW sendiri ketika ditanya oleh sahabat, apa definsis ikhlas, beliaupun tak mampu dan tak berani menjawab dan akhirnya beliau izin untuk bertanya kepada malaikat Jibril. Jibril pun serupa, dan diapun bertanya kepada Allah. Jawaban Allah adalah, ikhlas adalah satu rahasia (hati) dari sekian banyak rahasia antara Allah dan orang yang ditunjuk atau diberi apa yang dinamakan ikhlas itu. Secara harfiah, tentu rahasia ini hanya diberikan kepada orang-orang tertentu saja, dan kita pun berjuang untuk mendapatkannya. Sufi pun pernah berstatemen bahwa cara untuk menjadi ikhlas adalah meninggalkan ikhlas. Lha, makin pusing kan? Hehehe. Silakan baca sendiri bab ikhlas, tetapi penulis menggaris bawahi bahwa dengan hati yang ikhlas dan semata karena Allah SWT menjadikan kita makhluk yang dekat dengan Khaliq, bukan makhluk yang ego, yang mencari karomah semata. 

Dalam suatu ungkapan para ulama sufi, kita tidak diperbolehkan memburu karomah secara berlebihan, karena nafsu kita lah yang sedang menjejali saat kita seperti itu, yang diprioritaskan adalah istiqomah, karena hak Allah lebih penting daripada hak kita. Ungkapan tersebut bukannya mengharamkan kita untuk mengharap sesuatu dari apa yang sudah dikerjakan, tetapi lebih agar kita tidak berlebihan dalam mengejar karomah yang nantinya diakhiri dengan penyesalan seandainya tidak terjadi atau terwujud. Anggap saja, ketika kita berdoa meminta rezeki yang berlimpah, esensi doa itu bukan dari apa yang akan diijabahkan, tetapi lebih ke istiqomah, konsistensi, dan pengabdian luar biasa hamba kepada Tuhannya. Allah SWT lebih menyukai orang yang terus menerus berdoa daripada melihat mereka yang gembira ketika diijabah doanya dan setelah itu tidak berdoa lagi.

Nah, dari secuil upa bab "Dalam Tiap Nafas" ini, dalam kehidupan yang memiliki dinamika kompleks dan penuh dengan pengaruh, dapat kita tarik kesimpulan kecil bersama-sama, bahwa kehadiran Allah di setiap detik nafas kita, di setiap kedip mata kita dan di setiap denyut nadi kita, memberikan dorongan dan motivasi kuat untuk selalu memancarkan sifat Rabbani yang diturunkan kepada kita baik untuk jiwa kita maupun untuk lingkungan sekitar kita. Dalam setiap ibadah, amaliyah dan seluruh aktivitas, hendaknya bersandar pada Dzat Yang Maha Agung, yang menguasai dan meliputi seluruh makhluk-makhluknya ini, sehingga suatu saat kelak, kita dapat memahami esensi surga sebenarnya. Keindahan surga bukan semata untuk kita raih dan bersenang-senang di dalamnya, ada esensi lebih dari keindahan surga, yakni ada Dzat Yang Maha Indah yang menciptakan itu semua, dan begitu juga untuk neraka, janganlah beramal untuk menakuti neraka, karena neraka itu hanyalah makhluk, takutlah kepada Yang Menciptakan Neraka, Yang amat pedih siksa-Nya.

Bersambung...

2 komentar:

Kirim Komentar Anda
(Send Your Comment)