Halaman

Kamis, 26 Oktober 2017

Alam, Supervisor Manusia Menuju Tuhan I

Sumber : https://cdn.brilio.net
Setelah naik kelas ke kelas 2 SMA (tahun 2006), saya mendapati sebuah keadaan dimana saya harus memilih jurusan (meski tidak sepenuhnya bisa memilih, karena terkait dengan nilai). Ada 2 jurusan yang disediakan waktu itu IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) atau IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial). Sebenarnya pilihan ini tidaklah rumit untuk saya, karena saya merasa berkompeten untuk masuk jurusan IPA, berminat dan tentu saja dikarenakan faktor merasa lebih "bergengsi"-nya IPA di mata para siswa kebanyakan. 

Memasuki jurusan dan pengetahuan baru tentang alam dan semestanya, tentunya sangatlah menarik dan meyenangkan menurut saya. Karena alam adalah suatu desain kompleks yang seakan-akan sudah dirancang dengan suatu ukuran, rasio, pertimbangan dan keseimbangan yang luar biasa. Hasilnya? Sederhana tetapi elegan. Kompleks tetapi tidak membingungkan. Dinamis tetapi terukur. Teliti dan sangat cermat kalkulasinya. Maka tak salah, matematika juga menjadi "teman" sejati bagi ilmu dan pengetahuan tentang alam.

Saya tak akan bahas satu per satu mata pelajaran yang hadir di sana, tetapi saya akan langsung short cut saja ke bagian yang sangat menggelitik dalam metode pembelajaran ilmu dan pengetahuan alam ke siswa saat itu, (jujur saja, saya tidak tahu untuk saat ini, karena saya bukan pemerhati pendidikan, hehe). Saat itu (Ibu) guru (kimia) saya menjelaskan berbagai macam model atom dari atom model Dalton, Rutherford sampai Bohr, yang kesemuanya secara ringkasnya adalah membagi susunan atom menjadi bagian-bagian yang lebih kecil darinya. Namun, bukan masalah model atom yang akan saya bahas di sini, melainkan bagaimana sesuatu yang bernama atom tersebut yang boleh dibilang unit terkecil dari suatu materi tidak menyinggung sama sekali keberadaan Tuhan. Bahkan saya waktu itu berharap guru saya menyinggung sedikit tentang "keberadaan" Tuhan di sana. Why Tuhan ? Mengapa saya bisa terlintas kata "Tuhan" waktu itu.

Saya akan mengkesampingkan Islam (dalam konteks agama) dalam eksplorasi saya pada sesuatu ini. Kembali ke pertanyaan "Why Tuhan ?". Jawaban sederhananya adalah apabila sesuatu yang sangat besar dan (sudah disepakati) makin membesar tiap satuan waktunya yang dinamakan alam semesta, atau jagad raya ini sangatlah sukar diukur, dan kita hanya berasumsi atas dasar formula dan teori -- tidak bisa makin mendekatkan sesuatu yang "menguasainya", kita boleh saja memakai sesuatu yang makin kecil, komponen terkecil dari segala materi untuk menemukan sejatinya, apakah materi itu, dan lebih jauh lagi, siapa di balik layar atas keberadaan materi itu? Dan "Siapa" di sini, tentunya bagi orang yang menautkan segala sesuatu yang di luar jangkauan kepengetahuannya alias iman, mempercayai ada suatu komponen dari bagian terkecil dari materi tersebut yang tidak dapat diobservasi dan dieksplorasi lebih jauh lagi karena keterbatasan ilmu pengetahuan (mungkin sudah mentok), tetapi ADA.

Saya tidak akan berbicara mengenai Higgs Boson atau dalam bahasa media disebut dengan partikel Tuhan, karena keberadaan partikel ini juga selalu ada kontra argumennya, dan ini hanyalah akan menguras pemikiran untuk ajang perdebatan yang membuat kita menjauhi hikmah yang disediakan di sana.
Asal Mula Yang Sama
Sumber http://ekimia.web.id
Jika kita memecah-mecah diri kita (manusia) hingga unit terkecil dan sebuah benda (mati) , kita dapat sepakat bahwa atom adalah unit terkecil yang didapat, meski ada bagian dari atom (inti ataupun kulitnya) yang lebih kecil. Namun, kita sepakati saja, atom adalah unit paling kecil di sini. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah atom-atom yang menyusun diri kita dan benda tersebut sama. Bisa jadi sama bisa jadi tidak, tergantung kita akan membandingkan unsur yang mana. Jika kita membandingkan hemoglobin kita yang mengandung banyak unsur besi (Fe) dengan besi yang dipakai di benda tersebut, kita bisa saja mendapatkan susunan dan bentuk atom unsur besi (Fe) yang pastinya sama. Lantas terdiri dari apa atom itu? Model atom pada mekanika kuantum, memilah secara garis besar atom terdiri dari inti dan kulit atom. Adapun inti atom memiliki muatan positif (proton) dan netral (neutron), sedangkan kulit atom memiliki muatan negatif dan di sana bersemayam elektron-elektron yang bergerak mengorbit inti atom. Jumlah elektron-elektron ini tidaklah sama untuk tiap unsur.

Kita tinggalkan pembahasan yang sudah cukup mendalam di atas, pertanyaan selanjutnya, apa itu proton, neutron, elektron. Mereka itu apa? Bola-bola kecil seperti yang sering kita lihat pada animasi modelnya itu terbuat dari apa? Padahal masih banyak komposisi-komposisi lain yang lebih kecil dan kita yang awam jarang mendengarnya seperti quark, gluon, dan teman-temannya.

Kalau kita telisik lebih jauh, apa yang sebenarnya ada dibalik aktivitas getaran, gerakan, pengorbitan, pengikatan, tarik-menarik, serta pemancaran baik berupa massa maupun citra dari unit terkecil ini? Energi. Iya energi, dan bisa dikatakan atom adalah unit energi paling pionir. Tidak perlu dipikirkan lanjut, sebagai awam kita sudah bisa mengambil kesimpulan sesungguhnya diri kita ini ataupun bintang di atas sana disusun oleh segumpalan energi paling kecil yang sama dan tidak pernah "padam". Atom-atom yang  menyusun jasad kita tidak lebih dari atom-atom yang menyusun jasad binatang piaraan kita. Kita dan alam semesta secara materialistik hanyalah gumpalan energi yang saling berinteraksi, kemudian membentuk susunan-susunan unsur, dan kemudian dari unsur itu ada yang berdiri sendiri ada pula yang saling bersenyawa membentuk zat baru, menjadi molekul-molekul maupun ion (yang memiliki muatan (positif atau negatif)) dan seterusnya hingga diperoleh materi kompleks yang terdiri dari berbagai macam unsur, senyawa. Itu semua berawal pada satu asal-muasal.

Berbicara mengenai energi tentunya, kita menyepakati adanya hukum kekekalan energi, yaitu energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Kalau tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, alias kekal, sampai sini apakah kita wajib berhenti dan langsung meyakini bahwa energi adalah Sang Maha Kekal? Atau apakah ada kekekalan lain yang menyelimuti kekekalan ini? Kekekalan yang lebih besar dan menyemestai kekekalan energi ini?

--- Intermezo --

Cipratan Renaissance
Abad pencerahan lahir di Eropa dan dianggap sebagai lahirnya kembali peradaban orang-orang eropa karena mereka (dianggap_ tercerahkan oleh berbagai ilmu dan pengetahuan yang berkembang kala itu. Namun, bagi orang-orang yang tidak rela menyingkirkan spiritualistik dari ilmu dan pengetahuan, abad ini dianggap sebagai abad kemunduran, karena ilmu dan pengetahuan mulai abad ini (hingga sekarang) kalau bisa dijauhkan dari wilayah yang tidak dapat diobservasi. Sebagaimana dalam prolog paragraf tulisan ini, bahwa pembelajaran di sekolah mengenai ilmu dan pengetahuan alam sebisa mungkin tidak perlu menyentuh wilayah non-observatif. Wilayah yang tidak dapat diobservasi, diukur, dikalkulasi, dianalisis, bahkan disimpulkan, -- harus dipotong dan dijauhkan dari wilayah logis (ilmu dan pengetahuan) ini, demi menjaga kemurnian ilmu dan pengetahuan (sains). Dan tentunya tuhan adalah salah satu wilayah yang harus dipisahkan dari aktivitas ini.

Tidak heran, akademisi-akademisi bergelar panjang kini alergi dengan penyebutan kata "tuhan" dari wilayah lingkup pengkajian mereka. Bahkan, menyertakan tuhan dalam pengkajian akan dianggap sebagai kekonyolan besar dalam metode (yang sering disebut) ilmiah. Namun bukan berarti mereka orang yang tidak mengimani Tuhan. Mereka juga ada yang mempercayai Tuhan, tetapi sebisa mungkin menyingkirkan "hal" ini dalam ranah pengkajian mereka. Intinya Tuhan tidak bisa hadir di wilayah ilmu dan pengetahuan.

-- Break ---
Alam Semesta Sebagai Maha Energi
Kalau satu unit atom bisa kita simpulkan sebagai unit energi pionir, maka mungkin kita bisa menyatakan alam semesta yang kita tidak tahu ujungnya ini adalah Sang Maha Energi, artinya gumpalan energi-energi yang sebenarnya sama itu, saling berinteraksi dan berkolaborasi membentuk kompleksitas yang jumlah variasinya sangatlah banyak. Dan kita sebagai manusia, "diletakkan" oleh alam semesta pada suatu koordinat dimana dia bisa "menjangkau" bagian yang lebih kecil dari dirinya dan lebih besar dari dirinya dengan suatu perangkat yang dinamakan akal dan pikiran. Namun perangkat ini memiliki keterbatasan akses atau limitasi untuk menganalisis dan menyimpulkan sesuatu yang dapat dilihatnya (dalam arti luas).

Karena keterbatasan itulah, maka disimpulkan bahwa alam semesta dan seluruh materi yang ada ini tidak lain dan tak bukan adalah maha energi yang bisa mengatur dirinya sendiri, mengkondisikan segala hal untuk mencapai titik kesetimbangan yang paling tepat dan pas untuk berbagai komponen yang dilingkupinya. Hujan turun bukan berasal dari rancangan sesuatu yang lebih besar dari alam semesta, melainkan ada syarat dan prasayarat yang saling berhubungan sebab-akibat, ada aksi dan ada yang bereaksi hingga menghasilkan suatu peristiwa alam yang kita sebut dengan hujan itu. Bumi mengorbit matahari dan bulan mengorbit bumi bukan karena keinginan manusia tetapi itulah realitas alam yang terjadi karena akibat dari gaya tarik-menarik antar benda angkasa yang mentaati hukum gravitasi universal. Air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah karena ketundukan pada gravitasi dan lain sebagainya.

Alam semesta dan jagat raya yang sedemikian luasnya mencakup ruang dan berparalel dalam dimensi waktu ini, memiliki keabadian energi yang tak kunjung habis dan selalu berupaya mengkondisikan segala di dalamnya dalam kepatuhan dari hukum-hukum alam. Dan dapat disimpulkan secara akademis, bahwa alam semesta itu adalah pencipta energi itu sendiri, dan dia mengkreasikan apapun yang ada di dalamnya atau mengembangkan dirinya (baik secara ruang atau waktu) sejauh seberapa besarnya energi yang dia punyai untuk berkembang.

Pengkondisian atau Perancangan?
Argumen yang menyatakan bahwa alam bekerja sesuai dengan syarat dan prasayarat, menimbulkan urutan sebab-akibat, sedikit mengabaikan beberapa bagian penting dari semua proses dan kejadian yang terjadi di alam semesta, salah satunya yaitu "keindahan". Keindahan (hanya) diibaratkan sebagai dampak semata yang terlihat dalam jangkauan indra manusia. Hal tersebut tidaklah salah, karena kecenderungan keindahan nampak pada hasil, bukan pada proses. Oleh karenanya, keindahan yang saya maksud (tanpa mengurangi kekaguman pada keindahan hasil) adalah keindahan proses.

Jika kita mau sedikit meneliti bagaimana bagian-bagian dari alam semesta ini bekerja, maka kita akan menemukan ketakjuban-ketakjuban yang bisa jadi mengakibatkan kita berpikir, "wow, ini bukan cuma sebuah proses sebab-akibat". Alam bekerja dan berproses dengan elegan. Elegan di sini artinya sederhana, tetapi memiliki presisi dan kalkulasi yang mengagumkan. Saya tidak akan mengurai banyak contoh di sini, tetapi setidaknya kita pernah membaca adanya golden ratio , sebuah rasio/perbandingan angka-angka dalam desain dan struktur alam semesta, dan angka tersebut sangatlah konsisten dan ditemukan di berbagai macam makhluk.
sumber : wikipedia

Rasio emas ini adalah salah satu contoh keindahan proses yang saya maksud sebelumnya. Kalau kita mencermati lebih dalam lagi, keindahan dalam berproses akan sulit didapati pada suatu perancangan dan desain yang semrawut, tidak diperhitungkan, lebih-lebih accidental. Perancangan yang baik tentunya membutuhkan analisis serta uji sumber daya yang akan dipakai dalam proses tersebut. Jika dalam suatu proses alam, melibatkan puluhan sumber daya unsur, dengan rumitnya probabilitas perpaduan antar sumber dayanya yang saling mendukung, mengkatalisasi atau saling menghancurkan bisa berjalan dalam berbagai kalkulasi dan perhitungan proses secara tepat tanpa mengurangi "seni" keindahan dalam proses tersebut, maka bukan tidak mungkin alam semesta berjalan dengan kontrol dan campur tangan yang tidak biasa. Campur tangan yang luar biasa.

Bersambung...
Selanjutnya : Tuhan Ternyata Hadir, Mengurangi Alergi Agama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kirim Komentar Anda
(Send Your Comment)