Halaman

Sabtu, 22 Juli 2017

Menjalani Kehidupan Sufi di Era Modern II

Melanjutkan tulisan sebelumnya  dimana penulis waktu itu mengelaborasi sedikit tentang bagaimana bersufi dalam langkah-langkah kecil, kali ini penulis ingin berbagi tentang pengetahuan penulis, dalam menyelami dasar-dasar kehidupan yang selama ini malah kita abaikan karena kita sendiri terhijab dengan kerak-kerak kasar yang bernama dunia dan seluruh materiil isinya.

Apa hidup itu?
Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang seharusnya mampu dijawab oleh manusia yang diberikan bekal yang dinamakan kesadaran. Sebuah bekal yang dimiliki makhluk bernama manusia ini berbeda tingkatannya dengan kesadaran yang dimiliki oleh makhluk-makhluk lain. Kesadaran untuk bertanya seperti ini, sebenarnya sudah cukup untuk menjadi bekal manusia untuk membuktikan dirinya, bahwa dalam dirinya sebenarnya ada rasa kerinduan untuk berpulang ke asal-muasalnya. 

Penulis mengajukan pertanyaan ini, kepada dirinya sendiri waktu itu, kurang lebih beberapa hari sebelum masuk ke taman kanak-kanak (TK). Mengapa saya harus masuk TK, Lebih lanjut pertanyaan waktu itu, bagaimana kalau tidak. Tidak puas sampai situ, mengapa harus melalui ini, mengapa tidak. Mengapa harus terus berubah (menjadi dewasa), tumbuh, mengalami, mempelajari, menikmati, semua yang ada di hadapan dunia ini. Mengapa harus perlu ada di sini, mengalami dan melalui semua proses ini. Bagaimana mereka-mereka yang tidak ada di sini, apakah mereka sedang menonton ini semua, atau tidak sadar sama sekali bahwa ada yang diadakan selain mereka yang tidak diadakan. Dan seterusnya hingga, pada suatu titik penulis mempertanyakan. Apa hidup itu?

Pertanyaan ini tidak mampu dijawab penulis, dan seiring bertambahnya usia dan makin menumpuknya berbagai pengetahuan dan ilmu yang didapat, maka seperti penulis yang sebut sebelumnya dalam paragraf pertama, inilah kondisi dimana kita "terhijab". Iya, tertutup. Seolah-olah ada suatu lapisan-lapisan (barrier) yang menutupi sedikit demi sedikit, makin lama makin tebal hingga akhirnya, lupa untuk mencari siapa sejatinya diri ini. Oleh sebab apa dan untuk apa tujuannya. Dan saat itulah pertanyaan "apa hidup itu" terlupa begitu saja, terkikis masa, tertimbun problematika, dan akhirnya terbuang dan tersesat entah dimana. Sebelum pertanyaan pada sub wacana ini kita coba jawab, alangkah baiknya kita menelusuri jejak-jejak dan setapak-setapak yang kiranya tidak membuat kita terkaget dan terheran pada suatu hasil berpikir instan.

Ada Yang Lain
Kesadaran manusia akan eksistensinya akan menggiring pikirannya untuk bertanya, apakah manusia ini sendirian. Tentu tidak, karena masih banyak materi-materi lain yang dapat ditangkap mudah dengan indra, seperti alam, hewan, tumbuhan, batu, air, bumi, benda-benda angkasa yang ada di langit, hingga seluruh galaksi yang tak terhitung jumlahnya. Tak dapat kita pungkiri, mereka bersama kita, lantas pertanyaan berikutnya, apakah kita spesial? Sejauh ini kita selalu membuktikan kita sendiri (lebih) spesial dibandingkan dengan "mereka" yang tentu saja tidak (kita anggap) hidup. Kalaupun hidup, mereka kita anggap tidak "sadar", sekedar bertumbuh, bernaluri, dan tentunya tidak dapat berpikir dan berbudaya. Itulah yang menjadikan alasan kita menganggap kita spesial.

Apakah bumi ini, satu-satunya tempat yang spesial untuk sebuah desain yang spesial bernama manusia? Sampai pertanyaan ini, tentu saja memunculkan, berbagai macam jawaban. Baiklah sampai sini, kita langsung short cut saja, pada pertanyaan, kalaupun kita spesial, dengan peran, bentuk dan tujuan yang spesial pula, lalu apakah kita mencapai kespesialan ini dengan sesuatu yang sifatnya acak, random, selama bertrilyun tahun atau entah berapa lama prosesnya. Kalaupun iya siapa yang memulainya. Kalaupun tidak ada yang memulai, materi seperti apa yang menjadi pionir untuk memulai dirinya sendiri. Kalaupun tidak ada materi, ketiadaan macam apa yang menyebabkan keberadaan dengan tiba-tiba. Sampai titik ketidak-beradaan dan keberadaan inilah kita akan masuk ke dalam tahap yang kalau penulis boleh sebut dengan "jarak kesadaran". 

Jarak Kesadaran
Kesadaran yang kita yakini sebagai buah berpikir adalah kesadaran yang dapat diukur, ditangkap indra, dipikirkan lalu dapat dijelaskan dengan metode-metode tertentu. Maka tak heran, jika ada seorang filsuf yunani kuno, yang mengatakan, "aku berpikir, maka aku ada".  Dari sini sudah dapat disimpulkan berplikirnya kita sebagai manusia dengan segala atributnya, menyebabkan kita sadar bahwa kita adalah manusia. Batu tidak berpikir, tapi tidak kita anggap dia tidak sadar, dia sadar tetapi dalam tingkatan kesadaran benda mati. Makhluk hidup lain juga begitu, mereka memiliki kesadaran dalam tingkatan kesadaran yang berbeda dengan kita. 

Ada sesuatu dimana kita tidak dapat menjangkau sesuatu itu dengan upaya berpikir atau kesadaran. Seperti misalnya, kita sadar, bahwa pasangan kita juga bekerja di kantor, tetapi kita tidak dapat memastikan bahwa dia tidak berselingkuh dengan orang lain. Inilah yang penulis sebut dengan jarak kesadaran. Jarak yang memisahkan antara realitas yang ada dengan sesuatu yang dapat dipikir dan dirancang secara sadar. Jarak kesadaran ini dapat dipupus dengan sesuatu yang dinamakan percaya (trust). Saat kita melepas pasangan kita bekerja di sebuah tempat, berarti di sana kita juga percaya dan bahkan bisa jadi yakin bahwa, pasangan kita tidak melakukan perselingkuhan di luar sana.

Kembali, ke jarak kesadaran tadi, jika kita sambungkan dengan sub sebelumnya, "Ada Yang Lain". Tentunya, untuk memupus jarak tadi, kita membutuhkan sesuatu yang dinamakan percaya, dalam kasus ini adalah percaya , "ada yang lain". Dalam istilah yang lebih religius inilah yang dinamakan iman. Apa yang lain itu? Tentunya "yang lain" itu adalah suatu super power yang melebihi apa-apa yang sudah dapat kita observasi bahkan melebihi apa-apa yang belum sanggup kita observasi sejauh ini.

Super power ini, tentunya tidak sembarangan super power, yang kalaupun seluruh power yang ada dalam realitas ini disatukan tidak mampu menandingi super power ini. Super power inilah yang tentunya "mencipratkan" bagiannya, untuk menjadi sesuatu yang boleh menjadi apa saja yang super power ini inginkan. Super power ini adalah semesta dari bagiannya, dan tidak ada semesta lain yang lebih menjadi semesta daripada dirinya. Dalam bahasa himpunan dalam matematika, dia bukan himpunan bagian dari himpunan semesta lain, sedangkan "ciptaannya" tentunya adalah himpunan bagian darinya, bukan himpunan yang saling lepas.

Informasi dari Sang Super Power
Sebagai bagian dari Sang Super Power, tentunya bagian ini ingin melihat seberapa besar lingkup yang yang meliputi dirinya. Dalam bahasa sederhananya, manusia ingin tahu, siapa yang lebih menguasai dirinya, yang barang tentu Yang Maha Menguasai, tidak hanya menguasai dirinya, tetapi menguasai lain-lain di sekitarnya. Pengetahuan dan ilmu yang digunakan manusia untuk mengakses informasi tentunya sangatlah terbatas kongruen dengan sebab dikarenakan sumber daya himpunan bagian secara hirarki akan selalu lebih kecil daripada sumber daya semestanya. Jika kita analogikan dengan komputer, jika komputer anda memiliki sistem operasi DOS, sedangkan file yang akan diakses adalah file grafik atau gambar, maka tentunya kita tidak akan sanggup melihat penampilan gambar tersebut, melainkan hanya dapat dilihat dalam bentuk biner yang merupakan wujud translasi yang diterjemahkan dalam teks. Sama juga halnya dengan otak kita yang diberikan sistem operasi yang sangatlah jauh memiliki akses terhadap file-file Sang Super Power ini.

Lantas, bagaimana seharusnya komunikasi antar dua himpunan ini berjalan? Secara fitrahnya, tentunya informasi diberikan oleh pemilik sumber daya yang lebih besar kepada pemilik sumber daya yang lebih rendah di bawahnya. Informasi ini penting sebagai bagian dari jalinan keterpaduan dua himpunan yang sebenarnya menyatu tetapi bisa jadi malah makin terpisah jarak semu seolah-olah himpunan bagian ini selalu mengikis habis sumber daya dan komponen di dalamnya, semakin mengecil sehingga menjauhi kemiripan dengan semestanya atau bisa jadi malah "lepas" dari himpunan semestanya. Dan disanalah peran iman menjadi penting, yaitu menjembatani dan mengkatalisasi sumber daya yang ada untuk selalu membesar dan mencakupi dan mengimplementasi informasi-informasi yang diberikan kepadanya dan berusaha untuk tidak "keluar lepas" dari semestanya.

Jika kita proyeksikan analogi tadi ke kehidupan manusia, informasi yang diberikan Sang Super Power kepada bagian-bagiannya (manusia) itulah yang disebut dengan agama. Agama adalah informasi yang diberikan Sang Maha Pemilik Kekuatan kepada manusia, agar manusia tahu siapakah Dirinya tersebut. Jadi secara ringkas, tidaklah mungkin agama itu lebih dari satu. Tidaklah mungkin agama yang diciptakan itu lebih dari satu, kemudian manusia disuruh memilih, dan hanya satu yang diterima. Tidak seperti itu. Secara logika, pastinya tidak seperti itu. Agama itu hanyalah satu, dan informasi yang diberikan kepada manusia itu sebenarnya, esensinya cuma satu. Kalau boleh dibilang, esensi dari agama adalah bagaimana caranya agar si himpunan bagian ini kembali menemukan semestanya, lalu berkomunikasi dengan semestanya, mendapatkan informasi lalu mengimplementasikannya agar apa yang ada pada dirinya sejatinya selalu dalam cakupan yang disetujui oleh semestanya. Dan sekarang bolehlah saya berani mengatakan Sang Semesta, Sang Super Power ini acap kita istilahkan dengan sebutan Tuhan. Untuk Tuhan yang mana kita skip dahulu, karena di titik ini sejatinya kita sudah sampai menemukan sebuah titik istirahat dalam perjalanan pemikiran yang melelahkan menuju Tuhan.

Tauhid dan Hanya Islam
Dari tadi saya selalu menggunakan analogi himpunan semesta dan himpunan bagian, karena saya ingin menuju pada suatu istilah yang sudah sangat melekat dengan orang Islam, yakni tauhid. Tauhid didefinisikan secara umum adalah mempercayai Tuhan hanya satu, dan satu-satunya. Definisi tersebut benar, dan mungkin sudah disetujui kebanyakan pemuka dan ulama agama. Namun menurut saya pribadi, tauhid lebih dari hanya "mempercayai" Tuhan itu satu dan satu-satunya. Tauhid menurut saya adalah proses bagaimana manusia sebagai himpunan bagian yang diberi "jarak" kesadaran untuk berpikir, berproses, menemukan kembali track-track untuk kembali "menyatu" dengan Tuhannya. Menyatu di sini jangan dibayangkan secara materialistik, (meski secara material memang sangat bisa seperti itu), tetapi lebih bagaimana manusia menyatu kembali dengan Tuhannya, mendekati Tuhannya dengan mendekati dan menyatukan sifat-sifat yang dipancarkan oleh Tuhannya. Karena sesungguhnya Tuhan itu hadir kepada manusia melalui sifat-sifat-Nya. Bukan mewujud secara materialistik, bukan nampak atau terdengar oleh indra, bukan pula hadir dalam goresan-goresan imanjinatif dan ijtihad atau upaya mendeskripsikan sesuatu, tetapi lebih pada "terasa" pada level paling halus, paling lembut, paling murni tanpa menampakkan kerak sedikitpun, yaitu level rohani, ruh, perasaan, keindahan dari dalam, dan energi paling bersih dan suci. Itu semua terasa karena hadirnya Dia melalui sifat-Nya yang dilekatkan pada materi ciptaan-Nya, "behavior"-Nya, kebijaksanaan-Nya, keputusan-Nya dan apapun itu agar manusia benar-benar "merasa" dan berpikir akan keberadaan-Nya.

Dan di sinilah kita bisa menarik kesimpulan sesungguhnya hanya satu piranti, satu-satunya piranti yang diberikan Tuhan kepada manusia agar manusia itu bisa mengenali, berkomunikasi, bergaul dan bahkan bercinta dengan Tuhannya, yakni agama. Dan Apa agama itu? Tentunya Agama yang mengajarkan tentang sebuah pengabdian dan penghambaan manusia sebagai bagian kecil dari sebuah semesta Paling dan Maha Besar, agama yang mengajarkan bagaimana cara menempuh kembali penyatuan tersebut, mengikis jarak yang ada, dan menemukan kembali, siapa dirinya dan kemanakan dia akan kembali nantinya.

Tentunya hadirnya informasi yang disebut agama ini disesuaikan dengan kapasitas receiver-nya. Tidaklah mungkin sinyal yang membawa informasi yang akan ditransmisikan tidak disesuaikan dengan penerima sinyalnya. Dan tidaklah mungkin informasi yang dibawa sinyal tersebut dibuat agar susah dimengerti oleh penerima informasi. Oleh karenanya, dalam garis historis peradaban manusia, utusan-utusan Tuhan yang dinamakan nabi-nabi, disesuaikan dengan keadaan umat-umatnya. Mereka diutus dalam wujud yang sama dengan penerimanya yakni manusia. Frekuensinya benar-benar sama, manusia. Disesuaikan pula jenis dan pola pemikirannya. Informasi baik berbentuk ajaran tak tertulis maupun tertulis (mushaf atau kitab) memuat informasi yang juga telah disesuaikan dan terus-menerus dievolusikan agar selalu memenuhi kebutuhan manusia.

Jelaslah sudah, agama yang dibawa oleh seluruh utusan-utusan itu memang benar adanya hanya membawa satu pesan, kembali pada penyatuan dengan Tuhan. Menemukan kembali semesta paling akbar yang sangat amat payah ditemukan oleh pendahulu-pendahulunya yang "diberi" usia ribuan tahun. Agama sebagai short-cut informasi agar manusia tidaklah bersusah payah mencari apa dan siapa semestanya, dan disinilah dibutuhkan sebuah "kepercayaan" terhadap informasi tersebut. Kepercayaan yang menjembatani antara realitas dengan sesuatu yang tidak dapat dicapai secara observatif alias iman. Dan ringkasnya, Islam-lah satu-satunya agama yang dibawa oleh semua utusan-utusan itu. Islam diinformasikan melalui berbagai utusan dengan berbagai versi peradaban. Islam yang mewujud dalam berbagai ajaran dan boleh jadi seperti undang-undang padat. Adapaun Islam versi terakhir yang dibawa oleh seorang utusan dari bangsa Arab (Muhammad (saw)) adalah Islam versi untuk semua umat manusia, Islam versi untuk segala zaman setelah zaman utusan itu meninggalkan dunia hingga berakhirnya seluruh kehidupan dunia. Islam dengan versi yang sangat kompleks dan komprehensif menyesuaikan dengan kompleksitas yang tentunya dihadapi oleh manusia setelah abad 14.

Bagian dari Cinta
Pangkal yang paling indah dari Islam adalah cinta. Karena Tuhan yang kita sebut dengan Allah tersebut, hadir lebih sering dalam kenamaan indah yang bernama rahman dan rahim, (Pengasih dan Penyayang menurut terjemahan ke bahasa indonesia). Apa kata yang paling indah untuk menyatukan keduanya kalau bukan cinta? Islam hanyalah jalan, syariat yang telah dibakukan juga sebuah piranti atau tools (wasilah), adapun ghayah atau tujuan dari penggunaan piranti tersebut adalah mencapai Allah, dan apa yang tidak lebih indah dalam mengakses Allah melalui sebuah percintaan?

Syariat yang sering kita dengar dari guru-guru kita selalu kita anggap sebagai alat kewajiban yang apabila tidak dilakukan akan dimunculkan penakut-nakut manusia, sehingga sosok Allah yang dihadirkan adalah sosok yang mudah marah, mudah mengazab, mudah menghukum, bahkan menyiksa. Neraka dan siksa dihadirkan sebagai balasan dari Allah untuk manusia yang tidak taat memang benar adanya. Namun, hal ini menjadikan pemikiran bahwa Allah membutuhkan manusia tunduk pada-Nya. Padahal sejatinya Allah tidak memerlukan apapun dari manusia, tidak sedikitpun merasa dirugikan apabila manusia ingkar dan bahkan sekalipun seluruh umat di dunia ini kafir atau ingkar. Bukankah himpunan semesta selalu menginginkan keterlingkupannya terhadap himpunan-himpunan bagiannya?

Kebutuhan ada di sisi manusia, Allah memberikan informasi dan ayat-ayat "penggoda", "perangsang", agar manusia lebih sensitif dan peka karena reseptor manusia secara fitrah lebih peka terhadap sesuatu yang ekstrim, seperti siksa, hukuman, adzab, pahala, surga dan lain-lain. Namun, esensi yang lebih jauh bukanlah itu. Manusia akan mencari cara yang lebih "nikmat" untuk "bertemu" dengan-Nya, dengan tidak melulu melalui reseptor-reseptor tersebut, tetapi sebuah pergaulan indah yang dinamakan percintaan. Sebuah cara yang memunculkan subjek yang disebut dengan kekasih dan yang dikasihinya. Ini tentang keindahan, tentang kecantikan, tentang sebuah pertemuan antara dua belah pihak yang sangat merindukan.

Dalam Modernitas
Sampailah kita pada penghujung perjalanan ini, dimana kita akan bawa seluruh simpul-simpul cara pandang tadi dalam kehidupan kita di abad 21, abad dimana manusia digiring oleh dunia, oleh filosofi pemujaan materialitas, oleh konspirasi kasat mata, oleh tentakel-tentakel iblis dan followers-nya untuk selalu menjauhi Tuhan-Nya. Bahkan ilmu pengetahuan dan sains yang kita amini sebagai sebuah dewa penolong kita saat ini, dibuat sedemikian rupa untuk menjadi terpisah dan tidak memuat sedikitpun tentang Tuhan. Karena Tuhan dianggap sebagai objek yang tidak dapat diukur, diobservasi, dikalkulasi dan disimpulkan, maka Tuhan haruslah go out dari ilmu pengetahuan.

Tak hanya dalam ilmu pengetahuan, dalam kita berrumah tangga, berkendara, bersosial, berbisnis, berdagang, berpolitik, berbangsa dan bernegara, kalau bisa Tuhan tidak perlu dilibatkan. Dia nantinya hanya akan menjadi pelengkap penderita saja kalau "pas lagi-laginya dibutuhkan". Tuhan itu hanya ada di masjid, di pengajian, di majelis dzikir dan ritual-ritual Islam saja. Bahkan kalau perlu Tuhan diletakkan di mushola yang letaknya dekat dengan parkiran mobil!

Inilah sekularisme, dan anda diletakkan dalam sebuah tempat dimana anda harus jauh dari Tuhan anda, jauh dari cinta-Nya, jauh dari pergaulan dengan-Nya, bahkan jauh dari sifat-sifatnya. Islam hanyalah penghias rohani di sela-sela urusan dunia (yang dianggap) utama. Islam menjadi mikro dalam simbolik peci, sorban, gamis, jilbab, assalamualaikum, "jama'aaaah", halal-haram, sunnah-bid'ah, kajian akademis dalam bentuk ceramah yang menganggap umat ini sebodoh-bodohnya umat, sampai-sampai hukum main kelereng saja ditanyakan. Dan dapat disimpulkan bahwa dari eksternal maupun internal umat Islam sendiri yang memisahkan cinta manusia dengan Tuhannya.

Hidup manusia yang beragama Islam-pun yang menjadi kering dimana percintaan dengan Tuhannya dilarang, bahkan dilarang oleh ustadznya sendiri. Allah, menurut saya bukanlah Tuhan yang bawa cambuk, mengawasi sedemikian ketatnya sampai perkara celana, yang uwel, yang bertele-tele menghendaki hambanya sedemikian repotnya dan detilnya. Allah adalah Tuhan dan Tuhan sejatinya tidak dan sama sekali membutuhkan makhluknya. Adapun Allah menginginkan makhluknya bagaiamana caranya agar sampai kepada-Nya. Karena dia menginginkan perjumpaan dan dialektika yang sangatlah romantis namun penuh perjuangan. Dia amatlah bijaksana, Maha Bijaksana bahkan Dia menyebut dirinya seperti itu. Dia hadir dalam bentuk kasih dan sayang. Maka, kita sambut Dia dengan sebuah suka cita yang diiringi dengan kegigihan untuk mencapaiNya. Kita sebut Dia dimanapun berada, kapanpun dan bagaimanapun caranya, bahkan jika perlu pakai salah satu di antara namaNya yang 99 itu. Sebut dan libatkan Allah dalam segala urusan apapun, bahkan kencing sekalipun. Temukanlah sosok Dia dalam segala sesuatu, dengan begitu ada sebuah perjumpaan yang sangatlah mengasyikkan.

Menemukan Allah, lalu mengajakNya untuk bercengkrama dalam segala hal, termasuk di luar ibadah ritual seperti berbisnis, berpolitik, belajar, bekerja, berrumah tangga, bepergian, itu adalah bentuk ketauhidan kita sebagai manifestasi tujuan kita berislam. Karena sesungguhnya Islam dihadirkan kepada manusia bukan sebagai alat Allah untuk mengekang manusia, tetapi sebagai alat agar manusia mampu mengakses perjumpaan yang sangat indah dengan pencipta dan penguasa diri-Nya selama dia hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kirim Komentar Anda
(Send Your Comment)