Halaman

Jumat, 24 Mei 2013

2011 (2)

Posting Sebelumnya
Dalam Februari, senyumku sambil menangis
Bulan Februari, selalu identik dengan bulan "merah jambu", entah kenapa di tahun itu, bulan itu terasa sangat berat untuk melewatinya. Setelah saya putuskan untuk urbanisasi ke ibu kota, dan mendapatkan tempat tinggal di sana, hari demi hari pun saya lewati. Yah, mencoba melakukan sesuatu yang baru dari sebelumnya, "bekerja".  Hidup satu hari berputar serasa seperti hitungan menit. Berangkat pukul 07.30 dari kontrakkan dan pulang pukul 18.00. Tak banyak yang bisa kukerjakan saat itu di kantor, karena memang status kerja industri jadi sedikit penghambat untuk melakukan sesuatu yang lebih. Mendapatkan teman, suasana dan situasi baru di sana memang cukup menyenangkan, terlebih di usia saya yang belum genap 21 tahun saat itu, membakar sedikit semangat yang sudah terkurung oleh ketidaksabaran "melihat" dunia kerja.
Dan apa yang saya takutkan pun akhirnya muncul. Saya tipikal orang yang mudah bosan dan tidak mau lama-lama berkutat pada sesuatu yang berat dan saya pikir saya tidak bisa menyelesaikannya. Dengan rutinitas yang hampir sama tiap hari senin hingga jumat, dan dengan suasana kota Jakarta yang sedikit saya rasa "kurang bersahabat" dengan badan dan hati ini dibandingkan kota Bandung, saya merasa bosan dan jenuh. Ditambah lagi, dalam posisi kerja industri seperti ini saya harus tetap memikirkan tugas akhir sebagai sarana saya bisa lulus tahun ini. Praktis saya hanya bisa mencicil tugas akhir ini ketika malam hari atau akhir pekan. Tentu, karena selain waktu tersebut, saya harus di depan laptop kantor mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan.

Melihat cara berpikir saya antara bulan Jauari dan Februari secara tersirat menunjukkan betapa labil dan gegabahnya saya dalam mengambil keputusan waktu itu. Mengapa tidak saja saya tolak panggilan ini, dan mungkin saat itu saya masih bisa bersantai di kontrakkan lama sambil mengerjakan tugas akhir dan bermain dengan teman-teman kampus. Keputusan telah dibuat, yah terima pula konsekuensinya. Menatap sebuah realita dengan hati yang dingin atau mungkin jahat. Sebuah kota dengan hiruk pikuk keramaiannya, tidak menjamin hati saya kala itu tidak kesepian. Terkadang, perlu sms atau telepon orang tua atau teman terdekat untuk sedikit berbagi cerita dan saling memotivasi. Hingga akhirnya, bulat-bulat saya mengubah arah apa yang direncanakan bulan sebelumnya. Surat pengunduran diri saya kirimkan via email, meski dalam perjanjian sebelumnya saya masih terikat sampai enam bulan kedepan. Tapi, manajemen perusahaan dengan kebijakannya, "rela" melepas saya dengan cuma-cuma, alias saya tidak perlu membayar penalti atau apapun itu. 

Februari oh Februari, betapa jeleknya nasibmu tahun itu. Saya pulang ke bandung dengan sebuah senyuman yang manakala dapat Anda lihat di wajah seorang narapidana keluar dari penjara. Dan sedikit kekecewaan, karena saya telah membuang satu bulan itu dengan pengorbanan yang mungkin tidak sebanding dengan apa yang saya dapatkan. Senja kala itu dirundung sendu, kepulangan dari kantor, sambil memikirkan esok saya tak akan di sini lagi, dan menghadapi kehidupan "normal" yang sebentar saya tinggalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kirim Komentar Anda
(Send Your Comment)