Halaman

Minggu, 15 Maret 2015

Generasi Rabbani (1)

www.english.globalarabnetwork.com
Saya adalah seorang koruptor negara, uang bukan tempatnya masuk ke dalam rekening bukanlah suatu yang asing dan sukar. Ketika ada yang memergoki tinggal saja saya suap agar yang bersangkutan diam. So simple. Rakyat? Masa bodoh. Ini sebuah kesenangan yang saya capai. Bahkan sampai sekarang, tak ada seorangpun pernah bisa menjawab pertanyaan saya. Beri satu alasan paling logis agar saya berhenti untuk melakukan korupsi. Beri satu alasan paling logis bahwa korupsi itu kejahatan.

S: Anda akan ditangkap oleh lembaga peradilan.
R: Saya korupsi tidak pernah tanggung-tanggung, saya suap saja mereka, itu perkara mudah, urusan selesai.
S: Itu uang rakyat, tidakkah Anda tahu itu merugikan rakyat.
R: Jika saya jawab korupsi menguntungkan saya, mengapa tidak? Rakyat adalah rakyat, saya adalah saya, jangan campurkan kesenangan saya dengan mereka.
S: Anda tidak akan bahagia dengan uang itu.
R: Tidak bahagia bagaimana? Saya memiliki rumah bagus, kendaraan mewah, asuransi kesehatan dan pendidikan terjamin, saya bisa bertamasya ke manapun saya suka. Saya sudah memperhitungkan semua nilai aset hidup saya.
S: Itu uang kotor, Anda tidak akan menerima manfaat dari uang itu.
R: Saya minta statement darimana anda bisa menjustifikasi seperti itu, jika saya sudah memanfaatkan uang tersebut untuk membangun aset-aset yang nilainya bisa diukur di masa depan.
S: Anda tak akan tenang dengan harta sebanyak itu, yakinlah uang itu akan menghadirkan ketidakamanan bagi Anda.
R: Mudah, saya sudah membayar bodyguard untuk mengamankan diri saya dan aset saya.
S: Tidakkah Anda tahu, korupsi adalah kejahatan, dan tidak akan membahagiakan batin anda.
R: Well, saya adalah orang paling logis dan memperkarakan sesuatu dengan rasional, bagaimana saya disebut tidak bahagia, saya sudah mendapatkan segalanya.
S: Anda akan masuk neraka kelak.
R: Tahukah Anda, saya tidak percaya surga neraka, bahkan saya sendiri tidak yakin Anda pernah melihat langsung tempat itu. Hahaha.

Oke, sepertinya kita tidak akan menemukan pertanyaan yang tepat untuk orang macam "saya" dalam kasus seperti ini. Sebelum jauh ke situ, saya ingin tahu bagaimana kita bisa menjustifikasi bahwa korupsi itu adalah kejahatan. Bagaimana mencuri itu bisa disebut kejahatan. Apakah itu hanya norma turun menurun yang sudah wajar di kalangan masyarakat saja? Tidak, bahkan masyarakat Arab sebelum Islam datang, mencuri dan merampok sudah menjadi adab yang biasa. Bangsa-bangsa yang dijuluki dengan istilah barbar juga menganggap membunuh dan membantai orang-orang yang menghalangi tujuannya adalah hal yang biasa dan sudah menjadi kesepakatan yang tidak perlu ditulis. Suku Maya mempersembahkan nyawa seseorang kepada dewa mereka itu adalah hal yang lumrah, bukan kejahatan.
Semakin rumit jika kita meneruskan contoh-contoh seperti di atas. Baiklah, pertanyaan utamanya, apa definisi dari kebaikan dan kejahatan? Jika kita menggunakan literatur-literatur terpercaya seperti dari ilmu antropologi, secara singkat kebaikan dan keburukan dapat dibedakan dari efek yang ditimbulkannya, jika itu sifatnya membuat keadaan lebih baik untuk objek bersangkutan yang dikenai perbuatan tersebut, maka itu disebut kebaikan, begitu pula sebaliknya maka akan  disebut kejahatan atau keburukan.

Efek ini tidak serta merta mengarah langsung kepada subjek pelakunya, katakanlah berderma, bersedekah adalah kebaikan, karena orang lain merasa tertolong dengan "kebaikan" kita, tapi apakah lantas itu akan memberikan efek langsung kepada subjeknya? Tentu tidak, bahkan secara akal, dapat dikatakan saya merugi jika saya bersedekah, uang atau harta saya berkurang. Demikian pula korupsi, itu memang buruk bagi mereka (rakyat), tapi tidakkah Anda tahu, itu baik bagi saya.

Well, semakin mengerucut kepada suatu simpulan bahwa, aturan kebaikan dan keburukan tidak pernah datang dari dalam diri manusia. Seseorang pernah bertanya kepada saya, apa peran hati nurani di dalam setiap jiwa manusia? Itulah yang membedakan antara baik dan buruk. Jika saya jawab satu contoh yang paling mudah. Apakah anda menganggap sistem kasta yang terjadi di India selama berabad-abad adalah suatu kebaikan? Apakah begitu tidak adanya hati nurani mereka untuk meniadakan sistem yang mengklasifikasikan manusia kedalam strata sosial? Jadi jawabannya apakah mereka dari 100% penduduknya tidak ada sepersen pun yang menganggap ini adalah keburukan/kejahatan sosial?

Simpulan paling bijak, mau tak mau, dan paling logis adalah aturan kebaikan dan kejahatan (keburukan) bukan datang dari si pelaku bersangkutan (manusia), tetapi ada pihak lain yang turut serta menentukan aturan-aturan ini. Ya, Tuhan. Mengapa Tuhan? Satu-satunya pihak yang memiliki kekuatan yang di atas manusia adalah zat supernatural yang mengatur dan menguasai alam raya ini. Apapun namanya, Anda menyebut Tuhan, Dewa, Lord atau apapun, mari kita sepakat kekuatan supernatural itu adalah pihak yang dimaksud. Tuhan, yang dalam agama saya (Islam) saya sebut dengan Allah (Baca:Alloh). Bagi sebagian Anda yang atheis atau tidak percaya Tuhan, saya sudah bisa menjelaskan panjang lebar, yang semoga sedikit meyakinkan Anda, bahwa di dunia ini ada aturan-aturan yang begitu tidak nampaknya, muncul ke dalam kehidupan begitu saja tanpa kita menelisik darimana dan siapa yang menentukan itu, sepanjang sejarah manusia hingga sekarang. Hingga sekarang.

Bagi kita yang sudah mempercayai Tuhan, pastinya kita pernah mendengar cerita Adam dan Hawa (Eve) dari kitab suci dimana Allah melarang mereka memakan buah tertentu di surga. Tak ada alasan, tak ada efek atau akibat yang diinformasikan sebelumnya, bahkan larangan itu datang begitu saja. Yang bersangkutan (Adam dan Hawa) mematuhi dan berusaha menjauhi larangan tersebut karena Tuhan mereka, satu-satunya pihak "lain" yang "berkuasa" saat itu, bukan alasan lain. Bahkan, sebelum pelanggaran itu terjadi (mereka memakan buah itu), mereka tidak tahu efek yang akan mereka terima (diturunkan dari surga).

Secara akal, kita tidak bisa menentukan kebaikan dan keburukan/kejahatan kepada suatu kejadian, dan satu-satunya dasar untuk mengukur kebaikan dan kejahatan adalah aturan Tuhan. Jika aturan ini memuat bagaimana manusia harus berjalan dan bergerak dalam hidupnya, maka dapat disebut dengan jalan hidup (way of life). Tak ada istilah yang lebih dekat dengan makna "way of life" yang bersumber pada Tuhan kecuali istilah agama. Ya, agama.

Jika korupsi adalah suatu kejahatan, dan itu sudah diiyakan secara sosial (bukan scara akal), dan diaminkan oleh seluruh agama yang dianut di negeri ini, maka sudah dapat dipastikan, seorang koruptor adalah pelanggar aturan Tuhan, atau melanggar agama. Jadi sangatlah tidak bijak bahkan sesuatu yang kasar apabila seseorang menilai kehidupan berbangsa dan bernegara ini harus dipisahkan dari agama (kita sering mendengarnya dengan istilah sekuler). Sekulerisme ini hadir di tengah "kekacauan" di lembaga-lembaga pemerintahan negeri ini, sembari membisikkan bahwa semua urusan di dunia ini, biarlah akal yang berbicara, jangan membawa-bawa agama. Sangat berdusta orang yang berani-beraninya mengatakan demikian. Saya turut prihatin, statement ini pernah keluar oleh pemimpin lembaga peradilan Indonesia yang masa kerjanya mulai tahun 2015 ini. Sungguh, jika benar sekulerisme akan mengular di negeri ini, tunggulah betapa baik dan buruknya suatu perbuatan akan dinilai secara relatif oleh mereka, mereka yang membuat undang-undang.

Kembali lagi pada kasus sebelumnya, jika seorang yang mengaku beragama dan kemudian melakukan pelanggaran terhadap sesuatu yang dilarang oleh agamanya, maka ada efek yang harus dikenakan kepada yang bersangkutan (hukuman). Dan sangatlah simpel, apabila aturan itu datang dari suatu pihak, maka efek (reward and punishment) yang harus dikenakan haruslah berasal dari pihak pembuat aturan. Sebagai contoh, aturan sekolah A adalah jam masuk kelas pukul 07.00, apabila terlambat maka akan dikenakan hukuman menghapus papan tulis di satu hari itu. Saya murid sekolah A, tiba di kelas pukul 07.15, maka secara logis, saya akan menerima hukuman dari sekolah A, bukan menerima hukuman dari sekolah B, C atau lainnya.

Analoginya, jika kebaikan dan keburukan datang dari pembuat kehidupan, Tuhan, maka jika ada pelanggaran maka hukumannya mau tidak mau harus mengikuti aturan Sang pembuat aturan (Tuhan). Terpidana kasus narkoba yang tertangkap di negeri ini, sudah divonis hukuman mati, namun pemerintah negara asal si terpidana mengajukan protes dan pembelaan bahwa menurutnya hukuman itu terlalu berlebihan. Nah, dari sini terlihat, hukuman yang ditetapkan ternyata masih bisa diupayakan untuk "digembosi" karena memang standar hukuman itu menjadi relatif jika dibuat oleh sesama manusia. Jika kasusnya sudah absolut, itu adalah kejahatan, maka aturan selanjutnya adalah hukuman yang harusnya juga absolut/mutlak.

Dan di sinilah kita akan memulai berbicara mengenai generasi yang berketuhanan atau saya singkat adalah "Generasi Rabbani". Ya generasi rabbani, semuanya absolut, tidak relatif, bersumber dan mengarah langsung kepada sesuatu yang lebih besar bahkan paling besar (Greatest). Apa ada opsi lain untuk mewujudkan generasi manusia yang lebih baik daripada Generasi Rabbani?
Kalau Anda menjawab generasi teknologi, Anda harus ingat kasus kamera tersembunyi yang dapat merekam kegiatan wanita di kamar ganti. kidding. Ibarat koin, dua sisi selalu dihadirkan dalam realita kehidupan yang kompleks ini. Ada efek baik dan ada efek buruknya. Ya, lagi-lagi kan kita bicara lagi tentang baik dan buruk. Bahkan ada yang berani mengatakan abu-abu. Satu-satunya yang terbaik adalah totalitas menyerahkan kembali kepada aturan sang pencipta (Rabb, Tuhan).

Inilah generasi emas suatu bangsa, jika generasi tersebut benar-benar totalitas menyerahkan, apa-apa, perkara, dan segalanya kepada Sang Pencipta Kehidupan. Bukan berarti manusia tidak berhak memiliki andil dalam hal ini, justru itu otak manusia akan diberdayagunakan untuk benar-benar mengkaji sebuah aturan yang benar-benar belum pernah dibayangkan sebelumnya, ternyata sudah ada di antara mereka. Aturan itu sudah tertulis dalam kitab suci yang agung, kitab suci yang menjadi kalam Tuhan. Media antara komunikasi Pencipta dan ciptaan-Nya. Inilah dasar dari segala dasar. Teknologi, sosialita, ilmu pengetahuan, peradilan, bisnis, politik dan segalanya semuanya sudah ada aturan main yang sangat agung dan absolut. Jika suatu generasi mencoba untuk "menghadirkan kembali Tuhan" di tengah-tengah kehidupan mereka, maka bukanlah kekacauan (seperti negeri dan dunia saat ini) yang didapat.

Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?” -- Q.S Ali 'Imran 3:78-80

Bahkan bukan tidak mungkin surgaNya yang pernah diperlihatkan oleh nenek moyang kita (Adam dan Hawa) dapat dibawa turun oleh generasi ini ke permukaan bumi.Ini tinggal keputusan kita selaku manusia, apakah masih bangga dan menyombongkan diri, bahwa kitalah yang menguasai dunia ini, berhak memperlakukan apa saja di dunia ini, ataukah kita kembali ke sebuah pengakuan, bahwa ada kekuatan di atas manusia yang jauh lebih mengerti mana yang terbaik bagi kita. Jika kita sudah mengiyakan akan segala peyerahan diri, totalitas "submission to the God", pertanyaan selanjutnya akan muncul, agama selaku jalan hidup yang manakah yang tepat untuk mengatur seluruh hidup manusia ini, lepas dari keabu-abuan perkara, menakar benar dan salah secara tepat. Apakah semua agama selaku jalan hidup ini sama semuanya? Atau hanya salah satu yang benar dan yang lain salah?


Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kirim Komentar Anda
(Send Your Comment)