![]() |
S: Anda akan ditangkap oleh lembaga peradilan.
R: Saya korupsi tidak pernah tanggung-tanggung, saya suap
saja mereka, itu perkara mudah, urusan selesai.
S: Itu uang rakyat, tidakkah Anda tahu itu merugikan rakyat.
R: Jika saya jawab korupsi menguntungkan saya, mengapa
tidak? Rakyat adalah rakyat, saya adalah saya, jangan campurkan kesenangan saya
dengan mereka.
S: Anda tidak akan bahagia dengan uang itu.
R: Tidak bahagia bagaimana? Saya memiliki rumah bagus,
kendaraan mewah, asuransi kesehatan dan pendidikan terjamin, saya bisa
bertamasya ke manapun saya suka. Saya sudah memperhitungkan semua nilai aset
hidup saya.
R: Saya minta statement darimana anda bisa menjustifikasi
seperti itu, jika saya sudah memanfaatkan uang tersebut untuk membangun
aset-aset yang nilainya bisa diukur di masa depan.
S: Anda tak akan tenang dengan harta sebanyak itu, yakinlah
uang itu akan menghadirkan ketidakamanan bagi Anda.
R: Mudah, saya sudah membayar bodyguard untuk mengamankan
diri saya dan aset saya.
S: Tidakkah Anda tahu, korupsi adalah kejahatan, dan tidak
akan membahagiakan batin anda.
R: Well, saya adalah orang paling logis dan memperkarakan
sesuatu dengan rasional, bagaimana saya disebut tidak bahagia, saya sudah
mendapatkan segalanya.
S: Anda akan masuk neraka kelak.
R: Tahukah Anda, saya tidak percaya surga neraka, bahkan
saya sendiri tidak yakin Anda pernah melihat langsung tempat itu. Hahaha.
Oke, sepertinya kita tidak akan menemukan pertanyaan yang
tepat untuk orang macam "saya" dalam kasus seperti ini. Sebelum jauh
ke situ, saya ingin tahu bagaimana kita bisa menjustifikasi bahwa korupsi itu
adalah kejahatan. Bagaimana mencuri itu bisa disebut kejahatan. Apakah itu
hanya norma turun menurun yang sudah wajar di kalangan masyarakat saja? Tidak,
bahkan masyarakat Arab sebelum Islam datang, mencuri dan merampok sudah menjadi
adab yang biasa. Bangsa-bangsa yang dijuluki dengan istilah barbar juga menganggap membunuh dan membantai orang-orang yang menghalangi
tujuannya adalah hal yang biasa dan sudah menjadi kesepakatan yang tidak perlu
ditulis. Suku Maya mempersembahkan nyawa seseorang kepada dewa mereka itu
adalah hal yang lumrah, bukan kejahatan.
Semakin rumit jika kita meneruskan contoh-contoh seperti di
atas. Baiklah, pertanyaan utamanya, apa definisi dari kebaikan dan kejahatan?
Jika kita menggunakan literatur-literatur terpercaya seperti dari ilmu
antropologi, secara singkat kebaikan dan keburukan dapat dibedakan dari efek
yang ditimbulkannya, jika itu sifatnya membuat keadaan lebih baik untuk objek
bersangkutan yang dikenai perbuatan tersebut, maka itu disebut kebaikan, begitu
pula sebaliknya maka akan disebut
kejahatan atau keburukan.
Efek ini tidak serta merta mengarah langsung kepada subjek
pelakunya, katakanlah berderma, bersedekah adalah kebaikan, karena orang lain
merasa tertolong dengan "kebaikan" kita, tapi apakah lantas itu akan
memberikan efek langsung kepada subjeknya? Tentu tidak, bahkan secara akal,
dapat dikatakan saya merugi jika saya bersedekah, uang atau harta saya
berkurang. Demikian pula korupsi, itu memang buruk bagi mereka (rakyat), tapi
tidakkah Anda tahu, itu baik bagi saya.
Well, semakin mengerucut kepada suatu simpulan bahwa, aturan
kebaikan dan keburukan tidak pernah datang dari dalam diri manusia. Seseorang
pernah bertanya kepada saya, apa peran hati nurani di dalam setiap jiwa
manusia? Itulah yang membedakan antara baik dan buruk. Jika saya jawab satu
contoh yang paling mudah. Apakah anda menganggap sistem kasta yang terjadi di
India selama berabad-abad adalah suatu kebaikan? Apakah begitu tidak adanya hati
nurani mereka untuk meniadakan sistem yang mengklasifikasikan manusia kedalam
strata sosial? Jadi jawabannya apakah mereka dari 100% penduduknya tidak ada
sepersen pun yang menganggap ini adalah keburukan/kejahatan sosial?
Simpulan paling bijak, mau tak mau, dan paling logis adalah
aturan kebaikan dan kejahatan (keburukan) bukan datang dari si pelaku
bersangkutan (manusia), tetapi ada pihak lain yang turut serta menentukan
aturan-aturan ini. Ya, Tuhan. Mengapa Tuhan? Satu-satunya pihak yang memiliki
kekuatan yang di atas manusia adalah zat supernatural yang mengatur dan
menguasai alam raya ini. Apapun namanya, Anda menyebut Tuhan, Dewa, Lord atau
apapun, mari kita sepakat kekuatan supernatural itu adalah pihak yang dimaksud.
Tuhan, yang dalam agama saya (Islam) saya sebut dengan Allah (Baca:Alloh). Bagi
sebagian Anda yang atheis atau tidak percaya Tuhan, saya sudah bisa menjelaskan
panjang lebar, yang semoga sedikit meyakinkan Anda, bahwa di dunia ini ada
aturan-aturan yang begitu tidak nampaknya, muncul ke dalam kehidupan begitu
saja tanpa kita menelisik darimana dan siapa yang menentukan itu, sepanjang
sejarah manusia hingga sekarang. Hingga sekarang.
Bagi kita yang sudah mempercayai Tuhan, pastinya kita pernah
mendengar cerita Adam dan Hawa (Eve) dari kitab suci dimana Allah melarang
mereka memakan buah tertentu di surga. Tak ada alasan, tak ada efek atau akibat yang
diinformasikan sebelumnya, bahkan larangan itu datang begitu saja. Yang bersangkutan
(Adam dan Hawa) mematuhi dan berusaha menjauhi larangan tersebut karena Tuhan
mereka, satu-satunya pihak "lain" yang "berkuasa" saat itu, bukan alasan
lain. Bahkan, sebelum pelanggaran itu terjadi (mereka memakan buah itu), mereka
tidak tahu efek yang akan mereka terima (diturunkan dari surga).
Secara akal, kita tidak bisa menentukan kebaikan dan
keburukan/kejahatan kepada suatu kejadian, dan satu-satunya dasar untuk
mengukur kebaikan dan kejahatan adalah aturan Tuhan. Jika aturan ini memuat
bagaimana manusia harus berjalan dan bergerak dalam hidupnya, maka dapat
disebut dengan jalan hidup (way of life). Tak ada istilah yang lebih dekat
dengan makna "way of life" yang bersumber pada Tuhan kecuali istilah
agama. Ya, agama.
Jika korupsi adalah suatu kejahatan, dan itu sudah diiyakan
secara sosial (bukan scara akal), dan diaminkan oleh seluruh agama yang dianut
di negeri ini, maka sudah dapat dipastikan, seorang koruptor adalah pelanggar
aturan Tuhan, atau melanggar agama. Jadi sangatlah tidak bijak bahkan sesuatu
yang kasar apabila seseorang menilai kehidupan berbangsa dan bernegara ini
harus dipisahkan dari agama (kita sering mendengarnya dengan istilah sekuler).
Sekulerisme ini hadir di tengah "kekacauan" di lembaga-lembaga
pemerintahan negeri ini, sembari membisikkan bahwa semua urusan di dunia ini,
biarlah akal yang berbicara, jangan membawa-bawa agama. Sangat berdusta orang
yang berani-beraninya mengatakan demikian. Saya turut prihatin, statement ini
pernah keluar oleh pemimpin lembaga peradilan Indonesia yang masa kerjanya
mulai tahun 2015 ini. Sungguh, jika benar sekulerisme akan mengular di negeri
ini, tunggulah betapa baik dan buruknya suatu perbuatan akan dinilai secara relatif oleh mereka,
mereka yang membuat undang-undang.
Kembali lagi pada kasus sebelumnya, jika seorang yang
mengaku beragama dan kemudian melakukan pelanggaran terhadap sesuatu yang
dilarang oleh agamanya, maka ada efek yang harus dikenakan kepada yang
bersangkutan (hukuman). Dan sangatlah simpel, apabila aturan itu datang dari
suatu pihak, maka efek (reward and punishment) yang harus dikenakan haruslah
berasal dari pihak pembuat aturan. Sebagai contoh, aturan sekolah A adalah jam
masuk kelas pukul 07.00, apabila terlambat maka akan dikenakan hukuman
menghapus papan tulis di satu hari itu. Saya murid sekolah A, tiba di kelas pukul 07.15, maka
secara logis, saya akan menerima hukuman dari sekolah A, bukan menerima hukuman
dari sekolah B, C atau lainnya.
Analoginya, jika kebaikan dan keburukan datang dari pembuat
kehidupan, Tuhan, maka jika ada pelanggaran maka hukumannya mau tidak mau harus
mengikuti aturan Sang pembuat aturan (Tuhan). Terpidana kasus narkoba yang
tertangkap di negeri ini, sudah divonis hukuman mati, namun pemerintah negara
asal si terpidana mengajukan protes dan pembelaan bahwa menurutnya hukuman itu
terlalu berlebihan. Nah, dari sini terlihat, hukuman yang ditetapkan ternyata
masih bisa diupayakan untuk "digembosi" karena memang standar hukuman
itu menjadi relatif jika dibuat oleh sesama manusia. Jika kasusnya sudah
absolut, itu adalah kejahatan, maka aturan selanjutnya adalah hukuman yang
harusnya juga absolut/mutlak.
Dan di sinilah kita akan memulai berbicara mengenai generasi
yang berketuhanan atau saya singkat adalah "Generasi Rabbani". Ya
generasi rabbani, semuanya absolut, tidak relatif, bersumber dan mengarah
langsung kepada sesuatu yang lebih besar bahkan paling besar (Greatest). Apa
ada opsi lain untuk mewujudkan generasi manusia yang lebih baik daripada
Generasi Rabbani?
Kalau Anda menjawab generasi teknologi, Anda harus ingat kasus kamera tersembunyi yang dapat
merekam kegiatan wanita di kamar ganti. kidding. Ibarat koin, dua sisi selalu dihadirkan dalam realita
kehidupan yang kompleks ini. Ada efek baik dan ada efek buruknya. Ya, lagi-lagi
kan kita bicara lagi tentang baik dan buruk. Bahkan ada yang berani mengatakan
abu-abu. Satu-satunya yang terbaik adalah totalitas menyerahkan kembali kepada
aturan sang pencipta (Rabb, Tuhan).
Inilah generasi emas suatu bangsa, jika generasi tersebut
benar-benar totalitas menyerahkan, apa-apa, perkara, dan segalanya kepada Sang
Pencipta Kehidupan. Bukan berarti manusia tidak berhak memiliki andil dalam hal
ini, justru itu otak manusia akan diberdayagunakan untuk benar-benar mengkaji
sebuah aturan yang benar-benar belum pernah dibayangkan sebelumnya, ternyata
sudah ada di antara mereka. Aturan itu sudah tertulis dalam kitab suci yang
agung, kitab suci yang menjadi kalam Tuhan. Media antara komunikasi Pencipta
dan ciptaan-Nya. Inilah dasar dari segala dasar. Teknologi, sosialita, ilmu
pengetahuan, peradilan, bisnis, politik dan segalanya semuanya sudah ada aturan
main yang sangat agung dan absolut. Jika suatu generasi mencoba untuk
"menghadirkan kembali Tuhan" di tengah-tengah kehidupan mereka, maka
bukanlah kekacauan (seperti negeri dan dunia saat ini) yang didapat.
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?” -- Q.S Ali 'Imran 3:78-80
Bahkan bukan tidak mungkin surgaNya yang pernah
diperlihatkan oleh nenek moyang kita (Adam dan Hawa) dapat dibawa turun oleh
generasi ini ke permukaan bumi.Ini tinggal keputusan kita selaku manusia,
apakah masih bangga dan menyombongkan diri, bahwa kitalah yang menguasai dunia
ini, berhak memperlakukan apa saja di dunia ini, ataukah kita kembali ke sebuah
pengakuan, bahwa ada kekuatan di atas manusia yang jauh lebih mengerti mana
yang terbaik bagi kita. Jika kita sudah mengiyakan akan segala peyerahan diri,
totalitas "submission to the God", pertanyaan selanjutnya akan
muncul, agama selaku jalan hidup yang manakah yang tepat untuk mengatur seluruh
hidup manusia ini, lepas dari keabu-abuan perkara, menakar benar dan salah
secara tepat. Apakah semua agama selaku jalan hidup ini sama semuanya? Atau
hanya salah satu yang benar dan yang lain salah?
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kirim Komentar Anda
(Send Your Comment)