Halaman

Senin, 08 Oktober 2012

My World - Flashback 2

Melanjutkan postingan saya dua tahun yang lalu (sudah lama sekali), yang bercerita tentang "petualangan" saya di dunia perkampusan, kali ini saya akan sedikit berbagi, apa di balik keberhasilan saya mendapatkan predikat seperti yang terlihat digambar. Cukup dan boleh dikata saya sangat sombong di postingan ini. Tak apalah, apapun pembaca budiman rasakan sekarang, yang pasti saya ingin menggarisbawahi dua frase yang dipisahkan dengan konjungsi "dan" di gambar tersebut.

Ya "Aktivis dan Mahasiswa Berprestasi di bidang Akademik". Susah masuk akal saat itu ketika saya menerimanya. Saat menerima itupun, saya sedang menjalani masa-masa kritis dengan situasi finansial yang sangat terpuruk. Ceritanya sudah saya cuplik di postingan ini. Memang, saat itu menjadi berkah tersendiri bagi saya, dimana hadiah yang digelontorkan untuk sang pemenang cukup banyak dan cukup bisa mengatasi masalah saya saat itu. Puji syukur saya ucapakan kepada Allah SWT,Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, kala itu dan saat ini. Begitu menikmati kemenangan itu sampai-sampai kemenangan-kemenangan kompetisi sains, fisika dan matematika di SMA terasa menjadi jauh lebih kecil dibandingkan penghargaan itu. Saya lebih merasa menjadi "Double Winner" saat itu, karena predikat yang saya sandang benar-benar double.

Terdengar sedikit kabar di telinga saya, adanya sedikit diskusi untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan penghargaan itu. Saya berpikir lumrah, karena banyaknya aktivis yang mungkin lebih baik daripada saya, dan banyak yang mendapatkan prestasi yang baik di bidang akademik selain saya. Saat itu saya hanya berpikir positif, bahwa penghargaan itu memang layak saya dapatkan, terlepas apapun itu penilainnya. Selain itu, saya juga tidak pernah menyangka bahwa akan ada penghargaan semacam ini dari kampus. Jadi secara umum, saya sangat menikmati sekali penghargaan ini. Saya merasa Allah telah memberikan amanah berlebih kepada saya di tahun 2010 itu, dan yang pasti saya diminta berusaha untuk mempertanggungjawabkannya (lebay). 

Sedikit berbagi, bagi saya modal utama untuk menjadi aktivis tangguh adalah ketulusan, dan modal utama menjadi mahasiswa yang sukses di akademik adalah ketulusan pula. Mungkin sedikit "lebay" perkataan saya kali ini, tetapi inilah yang kalau saya telusur secara dalam, bahwa makna ketulusan adalah jauh lebih penting daripada apa yang menjadi objek ketulusan itu sendiri. Saya akan mempersepit makna aktivis di sini adalah pelaku kegiatan ormawa dan kegiatan lainnya yang cenderung mengarah ke politik kampus, pengaturan kebijakan internal dan kritisi terhadap kebijakan baik dari eksekutif-legislatif mahasiswa dan atau kebijakan kampus sendiri. Secara dasar, saya memandang kegiatan kemahasiswaan yang diadakan di kampus adalah suatu bentuk perwujudan pegabdian intelektual mahasiswa dalam persiapan diri menuju kehidupan yang jauh lebih kompleks. Realitanya, bahwa saat itu, ketika saya diberi amanah menjadi ketua divisi di organisasi level medium (Himpunan Mahasiswa), saya tidak ingin mengincar apa-apa dibalik amanah tersebut. Jelas uang bukanlah sesuatu yang etis untuk dikejar. Namun, aktivis memang sedikit tetapi sering bergesekan dengan apa yang dinamakan popularitas. Ya, popularitas. Secara subjektif, saya memandang popularitas menjadi ganjalan utama seorang aktivis dalam meluruskan niat dan langkahnya dalam rangka "memberi sesuatu" terhadap inangnya. "Memberi sesuatu" bagi saya adalah hal yang utama dan perlu ditanamkan ke dalam mind set para calon aktivis, sebelum terbentuk mindset "popularitas" di otak mereka. Apalagi setahun ke belakang, dengan diterapkannya sistem pembagian poin untuk aktivitas kemahasiswaan dan jumlah poin tersebut sebagai syarat wisuda, maka jelas tujuan keikutsertaan dalam aktivitas kemahasiswaan bisa jadi didominasi oleh pengejaran poin. Ya, apapun itu bentuk dan usaha kampus untuk mendorong aktivitas kampus tetap layak untuk diapresiasi.

Di paragaraf sebelumnya, saya fokus pada kata aktivis dan di paragaraf ini saya akan mencoba sedikit berbagi bagaimana meraih konsistensi dalam hal akademik. Tentu, semua orang yang mengenyam bangku pendidikan merasakan hal ini. Di bidang akademik, saya nyatakan cukup mampu diri saya untuk menembus batas indeks prestasi yang telah ditetapkan oleh yayasan, agar saya masih terus mendapatkan beasiswa penuh. Semula, saya hanya berpikir, bagaimana menghindari indeks-indeks buruk yang dapat mengancam indeks prestasi sementara saya. Saya mengatur strategi belajar, dimana saya harus membagi porsi belajar sesuai dengan bobot sks yang dimiliki di tiap mata kuliah. Tentu, mata kulaih dengan bobot sks yang besar, akan lebih saya prioritaskan. Namun, seiring berjalannya waktu, saya pun berpikir, apakah saya menimba ilmu selama ini hanya untuk mendapatkan "benefit" secara material? Apakah saya belajar hanya untuk mengejar target lolos dari ancaman penghetian beasiswa saja? Nah, pemikiran seperti ini selalu menghantui saya tiap malam. Bahkan saya hampir tidak bisa tidur sepanjang malam hanya karena meratapi "dosa" tersebut. Selama ini, ternyata saya hanya menjadi budak poin yang hanya bisa bermain aman saja, tak lebih. 

Dan Alhamdulillah, pemikiran bergeser cukup jauh, dan saya mengejar target yang lebih tinggi yakni mendapatkan indeks prestasi sempurna tiap semester. Sangatlah berlebihan mungkin impian saya waktu itu. Namun, satu hal yang tidak bisa menghentikan itu adalah janji saya kepada diri sendiri kala itu. Ya, tidaklah etis saya umbar "self promise" tersebut di entri ini, tetapi yang pasti itu adalah pemicu saya dalam belajar. Dimanakah kata "ketulusan" yang saya ungkapkan di awal-awal entri ini? Baiklah, sebenarnya pada fase ini saya belum mendapatkan makna dari sebuah kata, "ketulusan". Kata itu muncul, setelah pada akhirnya saya berpikir tentang adik saya yang tidak melanjutkan kuliah, karena dia adalah lulusan SMK yang telah diproyeksikan untuk langsung bekerja. Dia memang pandai dalam akademis dan skill dibandingkan saya secara umum, tetapi ketidakberuntungannya mengantarkannya pada profesi. Dan saya sendiri? Ya, mengenyam bangku kuliah. Hal itu tak lepas dari kondisi ekonomi keluarga saya yang tidak memungkinkan untuk mengkuliahkan adik saya yang kedua, karena adik saya yang pertama sudah pasti harus kuliah, karena lulusan SMA.

Sebenarnya saya sangat merasa bersalah sekali dalam hal ini. Saya ibarat memperkosa ilmu pengetahuan yang jelita di depan saya, dibandingkan menjadikannya partner untuk selamanya. Saya mengabaikan value yang lebih dari apa yang saya dapatkan selama kuliah, dan mungkin ilmu itu hanya sampai ke otak. Dan disitulah, saya ingin memperdalam, bagaimanakah belajar dengan hati. Saya menemukan kata ketulusan, sebuah kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana otak anda akan dipaksa menyalurkan apa yang dia dapatkan ke dalam lubuk hati. Sang Pencipta, ya benar Sang Pencipta. Ilmu-ilmu itu hakikatnya akan selalu mengarah kepada wujud yang selama ini kita abaikan, yakni Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang menciptakan bumi dan seisinya. Sejak saat itu saya merasa bahwa pendidikan yang diajarkan di bangku-bangku institusi pendidikan saat ini hanya sampai pada hafalan, hanya mencapai pada pemikiran dan hanya tertanam dalam lobus-lobus otak. Ilmu-ilmu itu tak bisa mengantarkannya pada Dzat Yang Maha Tinggi. Dzat Yang Maha Pintar. Dzat Yang Maha Berilmu. Dan, saat itulah esensi dari eksistensi Tuhan, selalu saya jadikan orientasi dalam menuntut ilmu. Barangkali Anda-Anda yang belajar ilmu alam dan sosial dapat dengan mudah mengaitkan hal-hal yang dipelajarinya dengan kuasa Tuhan dan bagi saya yang berkecimpung di dunia teknologi informasi akan sangat susah mengaitkannya. Namun ternyata itu tidaklah terbukti. Saya mengalaminya, menelusurinya dan pada akhirnya menemukannya, dimanakan Tuhan saat saya belajar. Saya tak akan menjabarkannya, karena prosesi itu akan terjadi berbeda di tiap orang.

Nah, dari situlah hakaikat kata ketulusan muncul. Saya menafsirkan kata ketulusan di sini sebagai bentuk rasa cinta terhadap apa yang sedang saya pelajari dan menjalankanya tanpa ada giringan keterpakasaan, target dan reward. Cinta menurut saya dalam hal ini, adalah rasa dimana merindu dengan objek yang dicintai, bukan sesuatu yang menjadi atribut objek tersebut.  Maka, sering muncul dalam setiap speech saya, bahwasanya ada cinta ketika kita mempelajari sesuatu yang baru.

Dan, pada akhirnya pada entri kali ini, saya hanya bisa menyimpulkan secara sederhana, bahwa ketercapaian saya di atas, tidak ingin saya pungkiri karena ada suatu kekuatan yang amat sangat besar yang bisa melahirkan energi untuk meraih capaian-capaian yang diingini, dan yang lebih penting lagi, bagaimana menikmati setiap "ketulusan" yang terdalam dari lubuk hati kita, agar ketulusan tersebut berbuah manis dan menghantarkan kita ke keridhaan Sang Pemilik ketulusan.

Entri berikutnya, saya akan mengulas keterkaitan saya dengan seseorang yang selama ini, menginspirasi saya secara tidak langsung dan ada hal-hal yang sangat luar biasa dalam proses-proses tersebut.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kirim Komentar Anda
(Send Your Comment)